Suara mesinnya bising dan memekakan telinga. Lajunya kadang jig jag membelah jalanan. Warna merah menjadi ciri khasnya, itulah bajaj, si roda tiga, salah satu moda transportasi yang bisa dikatakan sejenis angkutan purba, saking lamanya malang melintang di ibukota. Bahkan soal bajaj, ada sebuah seloroh, bahwa kemana bajaj akan belok, itu hanya Tuhan dan si supir bajaj yang tahu.
Bajaj memang bukan primadona moda transportasi. Kehadirannya kian terdesak, atau terus dipaksa didesak. Makin ke pinggiran. Bajaj tak boleh lagi bisa hilir mudik di jalur utama. Mungkin bisingnya mesin, asap tebal knalpotnya, dan ringkih tuanya penampilan bodi, membuat bajaj dianggap merusak pemandangan transportasi ibukota.
Dipinggiran ibukota, di jalan kelas dua, bajaj masih dibolehkan beroperasi. Tapi walau bagaimanapun, banyak orang di ibukota yang menggantungkan harapan nafkahnya pada si roda tiga itu. Salah satunya adalah Toidin.
Ia pernah menuturkan kisah hidupnya berjuang bertahan di ibukota dengan si roda tiga, saat mengobrol dengan saya. Umurnya, sudah 48 tahun. Jejak usia memang banyak tergurat di wajahnya. Kisahnya dengan si roda tiga, dimulai pada 1991. Di tahun itu, ia mulai menjadi supir bajaj, dan menggantungkan periuk nasinya dari si roda tiga.
“Dari 91, saya jadi supir bajaj. Sekarang sudah 2011, udah lama berarti yah,”katanya sambil menghembuskan asap rokok yang di isapnya.
Dulu, saat ia datang ke ibukota, selepas ia gagal melanjutkan sekolah. Sekolahnya hanya SD, dulu. Karena tak ada uang, ia merantau ke Jakarta, berharap nasib bisa berubah. Awal mula, ia jadi pekerja bangunan di proyek-proyek. Lalu berlanjut menjadi tukang becak. Selanjutnya, menjadi kenek angkutan, hingga ia bisa menyetir mobil. Pernah, menjadi supir angkot, hingga ia pada 1991, menjadi supir bajaj.
Saat ditanya, berapa penghasilan sehari? Ia tersenyum getir. Tarikan nafasnya mengisyaratkan beban keluhan.
“ Tak seberapa mas,”ujar Toidin.
Kalau lagi sepi, ia kantungi 60 ribu. Namun bila ramai, 100 ribu bisa masuk kantongnya. Itu pun kotor, karena di potong untuk bensin sebesar 35 ribu. Maka, kalau lagi sepi, ia merasa beban hidup begitu berat. Karena 60 ribu, dipotong 35 ribu, artinya hanya 30 ribuan ia bisa setor ke rumah.
Untungnya ia tak harus menyetor sewa bajaj secara harian. Ia memilih setor bulanan ke majikan, pemilik bajaj.
“Sebulan 400 ribu,”kata dia, menyebut angka sewa bajaj bulanannya.