”Ya kita ditarik bayaran, dua ribu sehari,” katanya.
Padahal yang ngetem, ditempat basah itu, puluhan penarik bajaj. Belum lagi ada kewajiban tak tertulis membeli sebotol air mineral pada si timer, maka tambah lagi rupiah yang harus dirogoh dari kantong. Tapi demi bisa mendapat penumpang, berkorban sedikit rupiah, kata Maman, tidak apa-apa. ”Belum lagi, kalau ada polisi yang minta uang rokok, ya kita patungan lagi duit. Biasanya 1500 sampai 2000 per orang. Nanti, timer yang ngatur pada polisi yang minta jatah,” kata dia.
Polisi yang dimaksud Maman, adalah oknum yang kerap memang menyalahgunakan kewenangan. Kata Maman, daripada menjadi masalah, lebih baik cari aman.
Dari data Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta, jumlah bajaj di ibukota cukup banyak. Jumlahnya mencapai, 14.424 unit. Artinya ada 14 ribuan orang yang menggantungkan hidupnya pada si roda tiga. Belum lagi bila menghitung bajaj yang dipakai narik bergiliran, atau ada supir tembak, jumlah pencari nafkah lewat roda tiga bisa membengkak lagi. Diantaranya adalah Toidin dan Maman, yang masih menggantungkan nafkahnya pada deru si roda tiga. Entah sampai kapan, yang pasti Toidin berharap, bajaj tak dihapuskan, hingga ia tak kuat lagi narik si roda tiga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H