Mohon tunggu...
Kang Jenggot
Kang Jenggot Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan swasta

Hanya orang sangat biasa saja. Karyawan biasa, tinggal di Depok, Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Perjuangan Hidup "Si Roda Tiga" Di Ibukota

4 Maret 2012   22:49 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:30 462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Satu saat bajajnya rusak, kaca depannya copot dan catnya mengelupas. Ia pun terpaksa pontang panting cari pinjaman, sebab bajaj adalah andalannya mencari nafkah.

“ Kalau di hitung-hitung habis satu juta enam ratus ribuan, itu cat belum bisa rapih semuanya,” keluhnya.

Belum lagi, bila kontrakannya jatuh tempo, pusingnya bertambah. Oleh karena itu, ia benar-benar berhemat. “Makan ada telor saja sudah bersyukur mas,”katanya.

Untungnya, sang istri ikut membantu mencari nafkah, dengan berjualan sayur dekat kontrakannya. Kata dia, walau hasilnya tak seberapa, tapi lumayan membantu dapur tetap ngebul. Anaknya ada tiga. Yang pertama bisa ia sekolahkan hingga SMA, itu pun harus jungkir balik, katanya. Ia pun tak ada keinginan anaknya bisa masuk perguruan tinggi. Mimpi, kata Toidin bila anaknya bisa ke perguruan tinggi.

“Ya lulus bekerja ikut bantu-bantu cari duit," ujarnya. Sementara anak keduanya dibangku SMP, si bungsu, masih SD. "Berat mas, apalagi ngandalin bajaj. Saya harus narik dari sore hingga pagi, siangnya istirahat, malamnya narik lagi. Tapi mau gimana lagi, ini mungkin nasib saya,” ujarnya dengan pasrah.

Harapannya sangat sederhana, bajaj masih dibolehkan berkeliaran di ibukota. Karena ia katanya pernah dengan bajaj bakal dihapus di ibukota. Makanya ia was-was. “Ya kalau boleh sih, janganlah bajaj ini dihapuskan, mau cari duit pakai apa saya,”ucapnya lirih.

Di kampung asalnya, Purwokerto, ia tak punya lahan. Orang tuanya dulu juga hanyalah petani buruh. Lahan yang dipunya pun hanya sepetakan, itu pun sudah habis sebagai warisan yang dibagi-bagi dengan saudaranya. Maka, harapannya hanya satu, bajaj tak lekas di hapus dari ibukota.

“ Ya sampai anak saya semuanya bekerja dan kawin, he..he..he..” Kata Toidin, sambil tertawa parau.

Beratnya hidup sebagai penarik bajaj, juga dituturkan Maman, kolega Toidin, sesama penarik si roda tiga. Maman bercerita, narik bajaj, tak asal mangkal dan sembarangan ngetem. Tempat basah penumpang seperti dekat mall, atau pasar tradisional, tak gratis.

”Disana kan ada timernya,” kata Maman.

Timer yang dimaksudkan Maman, lelaki yang mengaku dari daerah Jawa Tengah itu, adalah orang yang mengatur antrean bajaj di tempat ngetem yang basah penumpang. Agar bisa ngetem, penarik bajaj harus mengeluarkan biaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun