Mohon tunggu...
Kang Jenggot
Kang Jenggot Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan swasta

Hanya orang sangat biasa saja. Karyawan biasa, tinggal di Depok, Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ramai-ramai Berkelit Lewat Jalur Fusi

10 Agustus 2011   13:51 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:55 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Surat Suara Pemilu 2009

Jumat, 8 Februari 2011, di salah satu pojok ruangan, sebuah hotel berbintang, yang terletak di kawasan sibuk ibukota, terik hawa siang Jakarta tak terasa menyengat. Udara sejuk dari pendingin udara, taklukan teriknya hawa Jakarta. Ada yang beda, di hari itu. Orang hilir mudik, berjas warna hijau berlogo partai. Di luar sebuah ruang pertemuan, meja-meja ditata, beralas warna putih. Kue-kue, dijejer diatas meja. Di depan pintu masuk ruangan, dua deret meja mengapit kiri kanan. Duduk dibelakang, tiga orang gadis cantik, tak henti menebar senyum, mempersilahkan orang yang hendak masuk ruangan, menandatangani dulu, buku daftar hadir diatas meja. Hari itu, Partai Bintang Reformasi atau biasa disingkat PBR sedang punya hajat. Bukan, hajatan kampanye, tapi partai pimpinan Bursah Zarnubi itu, akan menandatangani kesepakatan dengan Partai Gerakan Indonesia Raya, sebuah partai yang kelahirannya dibidani oleh Mantan Pangkostrad, Letjen (Purn), Prabowo. Hari itu, sesuai tajuk acara, yang dipampang dispanduk, PBR akan melebur dengan Partai Gerindra. Ruang pertemuan ditata sedemikian rupa. Kursi ditata, berderet menghadap sebuah panggung. Di belakang, di pojok kiri dan kanan, meja berisi makanan dan buah-buahan. Alunan musik terus mengalun dari band yang sepertinya sengaja didatangkan, memeriahkan hajatan politik itu. Semua pada sumringah. Tak terkecuali Bursah Zarnubi, si punya hajatan, senyum merekah tak lepas dari bibir. Tak selang beberapa lama, tamu istimewa yang ditunggu Bursah tiba. Bergegas agak tergesa, Prabowo, masuk ruangan disambut gegap gempita tamu yang hadir. Berpakai khas safari warna putih gading, mantan Danjen Kopassus itu tegap menuju kursi kehormatan, tepat di depan panggung. Disambut Bursah, dengan pelukan hangat dan lengkap dengan cipika-cipiki. Nampak akrab, penuh senyum. Acara pun dimulai, dengan diawali kumandang lagu Indonesia Raya. Selanjutnya Bursah, memberi sambutan. Banyak puji dan sanjung dilontarkan Bursah untuk Prabowo. Bursah bahkan menyebut, Prabowo, tokoh yang memenuhi syarat menjadi presiden pada 2014. Ada gegap gempita saat itu. Bursah juga terlihat bersemangat, apalagi usai acara pendandatanganan kerjasama antara PBR dan Gerindra, di suguhkan hiburan live musik.Semua larut dalam gembira. Kader PBR yang datang, merasa punya rumah politik baru, artinya asa tetap ikut pemilu tetap hidup. Maka, ketika Prabowo naik panggung, dan menyanyikan sebuah lagu, tepuk sorai menggema memenuhi ruangan, menyambut kongsi baru PBR dengan Gerindra. Februari berlalu sudah. Sekarang sudah pertengahan Juni. Tiba-tiba terpetik kabar, kongsi PBR dan Gerindra pecah. Partai pimpinan Bursah, dikabarkan putar haluan fusi, batal merger dengan Gerindra. Kini, Bursah dan partainya merapat ke PAN. Partai pimpinan Menko Perekonomian, Hatta Rajasa, di gadang jadi labuhan baru PBR untuk berfusi. Kabar merapatnya PBR ke PAN, dibenarkan oleh Ketua Badan Pemenangan Pemilu partai berlambang matahari terbit itu, Viva Yoga Mauladi. Kabar PBR bakal berfusi dengan PAN, kata Viva, memang benar adanya. Bahkan pembicaraan sudah intens dilakukan. Bahkan, kata Viva, Bursah dan Hatta pun, sudah bertemu membicarakan itu. Sudah disepakati, tinggal selangkah lagi, PBR merger dengan PAN. Hanya soal teknis saja, yang belum dirampungkan. Bursah pun saat dikonfirmasi, tak menampik jika partai yang dipimpinnya itu, memang tak lagi satu rumah politik dengan Gerindra. Kesepakatan bulan Februari, di Hotel Sahid dengan partai Gerindra, terpaksa batal ditengah jalan. Bursah berdalih, pasca penandatanganan kesepakatan Hotel Sahid, komunikasi dengan Gerindra macet ditengah jalan. Kader-kader PBR pun, yang sempat bungah, gelisah. Desakan agar meninjau ulang kongsi dengan Gerindra pun, cerita Bursah, menguat. Puncaknya, dalam rapat pimpinan PBR, yang digelar di bulan Juni 2011, diputuskan, kongsi itu terpaksa dihentikan. Namun Bursah berdalih, bukan PBR yang sepihak memutus, tapi karena memang komunikasi yang tak jalan dengan Gerindra. Sedangkan kadernya membutuhkan kepastian tindak lanjut kesepakatan kongsi. Maka diputuskan, PBR putar haluan fusi. Kebetulan pula, setelah membuka penjajakan dengan PAN, partai pimpinan Hatta Rajasa itu yang paling welcome. " Ini untuk menyelematkan kader PBR yang masih ingin berkecimpung di dunia politik," katanya. Di bulan Maret 2011, kecemasan menghadapi pemilu 2014 juga disuarakan Partai Bulan Bintang (PBB). Di bulan itu, Ketua Umum PBB, MS Kaban, secara khusus mengundang seluruh Ketua DPD PBB datang ke markas besar partai itu, di bilangan Pasar Minggu. Di hadapan para ketua partai tingkat provinsi, Kaban menyebut, syarat baru yang ada dalam UU Parpol, juga rencana kenaikan PT, tak lebih sebagai upaya partai-partai mapan menjegal partai-partai kecil, seperti partainya. Memang Kaban, mengumbar optimisme, partainya bisa lolos verifikasi dan kembali bisa berlaga di pemilu 2014. Namun Kaban juga, mengungkapkan kegundahannya, dengan syarat berat itu, ada kemungkinan, PBB tak bisa lolos. Terlebih lagi, bila nanti angka PT jadi dinaikan, maka langkah PBB menembus Senayan kian berat.Bisa jadi, nasib di pemilu 2009 terulang lagi, dimana PBB gagal mendudukan wakilnya di Senayan, kendati, kata Kaban, partainya di pemilu kemarin menempati urutan sepuluh besar. Tapi apa mau dikata, karena total suara yang diraup PBB dalam pemilu tak mencapai 2,5 persen suara nasional, partainya tak bisa masuk Senayan. Tak ingin lagi bernasib sama, opsi fusi pun disiap. Tapi Kaban, selektif memilih kawan berfusi. Partai berasas Islam yang akan dijajaki. Salah satu partai, yang sedang dijajaki untuk tempat fusi adalah PPP, partai Islam yang sekarang di pimpin oleh Menteri Agama, Suryadharma Ali. Berkelit lewat jalur fusi juga dilakukan oleh 12 parpol yang tak mendapat kursi di DPR. Ceritanya mirip dengan kisah kongsi PBR dan Gerindra yang putus di tengah jalan. Minggu 17 Mei 2011, kedubelas partai itu, menghelat acara semacam promosi awal bahwa akan lahir sebuah partai baru hasil leburan, di sebuah hotel berbintang. Kali ini, hotel yang menjadi saksi kisah fusi 12 parpol, bukan lagi Hotel Sahid, tapi digelar di Hotel Kartika Chandra, sebuah hotel bintang empat, dibilangan Jakarta Selatan. Siang hari, hingga menjelang petang, acara promosi fusi 12 partai dilangsungkan. Sama meriahnya dengan acara fusi PBR dan Gerindra yang gagal. Namun, tanpa hiburan musik, tapi parade orasi berapi-api dari para petinggi 12 partai yang memutuskan meleburkan diri, menjadi satu partai. Partai leburan 12 partai itu diberi nama Partai Persatuan Nasional. Spanduk berwarna merah di bentang di sisi kiri ruang pertemuan di Hotel Kartika Chandra, bertuliskan Partai Persatuan Nasional atau disingkat PPN, menjadi penanda lahirnya partai baru hasil fusi dari 12 partai. Ratusan orang datang memenuhi ruang pertemuan, berjas warna-warni sesuai partainya. Ada 12 warna jas partai yang dikenakan para peserta. Dua belas partai itu, adalah, Partai Persatuan Daerah (PPD), Partai Patriot, Partai Demokrasi Pembaruan (PDP), Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK), Partai Matahari Bangsa (PMB), Pelopor, Partai Pemuda Indonesia (PPI), Partai Kasih Demokrasi Indonesia, Partai Indonesia Sejahtera (PIS), Partai Persatuan Demokrasi Indonesia (PPDI), Partai Kedaulatan dan Partai Merdeka. Peserta yang memadati ruang pertemuan itu, masih memakai baju kebesaran partainya. Tapi saat, pembawa acara mulai membuka, dengan pekik merdeka, gegap gempita disahut oleh teriakan, hidup Partai Persatuan Nasional. Tak lama, setelah pembawa acara memanaskan acara, berdatanganlah rombongan dari para ketua umum ke 12 partai yang sepakat meleburkan diri. Mereka dielu-elukan, bak selebritis. Acara pun dibuka, satu persatu, petinggi dari kedua belas partai berorasi depan podium. Pertama adalah Eros Djarot, Ketua Umum dari PNBK. Masih memakai pakaian kebesaran partainya, Eros mulai berorasi. Menurut Eros, pertemuan siang itu, di Hotel Kartika Chandra, adalah saat yang paling membahagiakannya. Bagaimana tidak, sekarang pimpinan dari 12 partai, telah sepakat melebur dan mendirikan partai baru, bernama Partai Persatuan Nasional. " Siang ini adalah siang yang sangat berbahagia, kader dan tokoh dari 12 partai menyatukan diri. Saya mengacungkan jempol untuk ini, " kata Eros. Eros juga bercerita, kenapa ia memilih bergabung dengan 11 partai non kursi, ketimbang merapat ke partai mapan. " Saya tanya, apakah NKRI nanti akan jadi harga mati, Pancasila harga mati, Bhineka Tunggal Ika, harga mati, UUD 1945, harga mati, di jawab ya, maka saya katakan PBNK siap bergabung, "tegasnya. Usai Eros orasi, giliran Roy BB Janis dari PDP, yang diminta berpidato. Di awali pekik merdeka, Roy pun mulai mengurai orasinya. Dalam pidatonya, Roy mulai menyebut Oesman Sapta, Ketua Umum PPD. Kata Roy, ketua umum dari 12 partai telah bersepakat memilih Oesman sebagai ketua umum dari partai baru itu. Roy pun menyebut kelebihan Oesman, yakni sebagai ketua umum dari Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), dan sebagai mantan wakil ketua dari Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Maka, kata Roy, Oesman layak jadi ketua umum dari PPN. Wakil dari Partai Patriot, Sulistyanto, dalam kesempatan berorasi, menyitir sebuah pepatah. Kata dia, kalau gagal satu kali, itu pelajaran, gagal dua kali adalah pengalaman, tapi jika gagal ketiga kalinya itu sudah keterlaluan. Atas pertimbangan, partainya selalu gagal dan jeblok dalam pemilu, ia pun memutuskan bergabung dan melebur dalam satu wadah baru. Sementara Roy Rening dari Partai Kasih Demokrasi Indonesia, menuturkan bahwa partai kecil non kursi, sudah dianggap seperti liliput oleh partai besar yang mempunyai kursi di parlemen. Maka sah untuk diberangus. Atas fakta itu, kenapa ia tak memilih bergabung dengan partai yang sudah punya kursi di DPR. Menurutnya, partai yang sekarang ada di DPR, sudah menyusun regulasi yang secara sistematis memang ingin membunuh partai kecil. Lihat saja, kata dia, UU Partai Politik dan UU Pemilu, yang begitu kentara ingin memberangus partai kecil. Maka daripada jadi penonton, ia lebih memilih bergabung dengan partai senasib, dan meleburkan diri dalam satu partai baru. Partai Persatuan Nasional, diyakininya, sebagai wadah politik alternatif. " Saya yakin PPN jadi partai besar. Bukan jadi partai liliput," tegasnya. Ketua umum lainnya, hampir semua menyebut, aturan baru dari UU parpol dan UU Pemilu, menjadi pertimbangan kenapa memilih melebur diri dengan partai senasib. Harapannya, agar tak selalu menjadi partai liliput. Tapi menjadi partai yang diperhitungkan oleh partai mapan. Di penghujung parade orasi, giliran Oesman Sapta, yang berpidato. Diakuinya sekarang 12 partai itu, hanya sekumpulan partai lemah yang memang masih menjadi liliput politik. Dalam kondisi sama-sama liliput, tak ada jalan lain, selain berhimpun dan bersatu. " Yaitu kebersamaan. Dengan bersatu, kita akan kuat. Saya tak akan bawa ini partai menjadi partai wah, tapi partai yang dekat dengan rakyat," tegasnya. Bahkan, Didi Supriyanto, yang didaulat, menjadi Sekjen PPN, sesumbar, partainya bisa bersaing dengan partai mapan lainnya. Didi yakin, partainya bisa lolos dari hadangan PT. " Target minimal kita lolos PT," tegasnya. Berapa pun, nanti parliamentary treshold diterapkan, apakah itu 3 persen atau 5 persen, partainya sudah menyiapkan strategi mengantisipasi itu. Karena kalau menghitung secara matematika politik, suara gabungan dari 12 parpol saja, sudah lebih dari 5 persen. Maka andaipun, nanti PT ditetapkan 5 persen, Didi masih optimistis bisa melewati itu." Target minimal lolos PT. Target maksimal, ya 8 sampai 10 persen,"kata Didi. Dosen UGM, Arie Sudjito, saat dimintai tanggapannya, tentang begitu mudahnya partai putar haluan fusi, hanya tertawa saja. Menurut Arie, sudah gampang ditebak, bila partai atau politisi di Indonesia mudah menjadi kutu loncat, karena memang hitung-hitungannya pragmatis. Begitupun ketika, akan berfusi, bukan pertimbangan apakah partai tempat labuhan baru itu basis ideologinya sama atau tidak. Tapi lebih pada, kalkulasi pragmatis saja, siapa yang bisa menampung dan menguntungkan. Jadi ikatan fusi itu sangat rapuh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun