Jadi wartawan, banyak enaknya, juga bejibun susahnya. Enaknya, ya bisa ngelancong ke luar daerah atau pulau, karena diundang liputan. Bisa nginep di hotel berbintang, karena liputan juga. Susahnya, he...he... Kalau sudah menjelang deadline, redaktur sudah mencak-mencak tak karuan. Atau dihadang hujan yang bikin motor mogok.
Nah, karena kerap dapat “keistimewaan” biasanya strategi aji mumpung tak luput untuk dipakai. Saya banyak catatan tengan dunia peraji mumpungan wartawan.
Salah satu kisahnya begini. Ada seorang wartawan, kawan satu pos liputan, yang kerap beraji mumpung ria. Pos liputan saya ini tak lain Komisi Pemilihan Umum. Waktu jelang pemilu, banyak isu yang dapat dijadikan berita. Maka kalau metodenya bobol bobolan, ya harus rajin datang pagi-pagi.
Acara KPU sendiri, jelang pemilu cukup padat. Rapat pleno nyaris dilakukan tiap hari. Dari pagi, bahkan sampai larut malam. Tentu kebayangkan, kalau liputan dari pagi, hingga malam, badan terasa penatnya. Bau keringat sudah menjadi keseharian.
Nah, ternyata ada seorang kawan liputan dari sebuah harian nasional yang cukup tenar, yang otaknya moncer. Ia tahu cara beraji mumpung memanfaatkan fasilitas yang ada di gedung komisi pemilihan.
Dia tahu, liputan dari pagi, bahkan kerap sampai malam, bikin badan penat, gerah dan akrab dengan bau keringat. Maka ia putar strategi, bagaimana atasi itu. Modusnya, bener-benar tak terpikirkan oleh wartawan lain. Bisa dikatakan ia pioner dalam hal ini.
Ternyata di tasnya, ia bawa peralatan mandi. Sabun cair, shampo botol, odol, sikat dan handuk mini. Nah, saat yang lain tak berdaya oleh bau keringat, ia segar wangi, karena dapat jebar-jebur mandi di kamar mandi yang ada digedung KPU. Biasanya dia mandi, di kamar mandi yang kerap dipakai komisioner, yang biasa sepi dari aktivitas hajat para staf lembaga penyelenggara pemilu itu.
Memang cerdas kiat aji mumpungnya. Disaat yang lain enggak enak dengan bau keringat, dia siul-siul dengan segarnya badan. Padahal rambutnya gondrong. Tapi karena kiat aji mumpungnya, tak ada cerita rambutnya yang gondrong desa lengket oleh keringat dan debu.
Saya pun kadang terapkan strategi aji mumpung. Terutama saat saya, di floating, alias liputan tanpa pos. Liputannya kebanyakan dari diskusi ke diskusi. Nah, kalau acara diskusi itu sering dilengkapi dengan hidangan makanan dan minuman. Kalau minuman biasanya the atau kopi.
Kalau acara diskusinya di hotel berbintang, kopinya lumayan enak. Kebetulan saya ini, pecandu kopi. Tapi kalau dikantin KPU, kopi yang saya reguk diperhitungkan dengan isi dompet. Lagian di kantin, kopi yang dijual, kopi sachetan.
Aji mumpung itu saya terapkan, setelah meneliti setiap diskusi banyak yang sediakan kopi. Makanya saya bela-belain, beli termos kecil dari alumunium, untuk 'mencuri' kopi diskusi. Caranya, saya racik kopi dulu secangkir untuk saya minum saat diskusi. Lalu isi termos kecil alamunium saya, buat bekal ngopi nantinya selepas acara diskusi. Jadi tak usah beli lagi kopi sachetan. Tapi bisa mereguk kopi diskusi yang lumayan enak.
Modus aji mumpung juga banyak diterapkan para wartawan yang sering liputan di KPU. Biasanya aji mumpung dilakukan saat mewawancarai para komisioner di ruangan. Nah, didalam ruangan para komisioner itu selalu tersedia kue dan makanan di meja. Sementara kalau wawancara, ya duduk di kursi-kursi yang mejanya banyak makanan.
Dengan pura-pura jaim, biasanya sambil ber ha ha hi, ada wartawan yang memulai minta ijin mencicipi makanan dan kue-kue di atas meja. Si tuan rumah, yang tak lain komisioner pemilihan, pastilah tak akan melarang. Pasti memonggokan.
Maka sekali dipersilahkan, sambil wawancara tangan - tangan wartawan tak henti-hentinya masuk toples kue. Bahkan kalau hendak keluar, masih sempet-sempetnya mengisi kanton dan saku baju dengan kue, makanan ringan lainnya dan permen.
Alhasil kalau rombongan pemburu berita itu usai wawancara dan pamit, nampaklah toples yang isinya terkuras. Bahkan pernah ludes. Lumayanlah, berita di dapat, mulut dimanjakan oleh penganan he...he...
Aji mumpung lainnya diterapkan, jika diundang hadiri diskusi di cafe atau restoran, dimana yang empunya hajatan membebaskan para wartawan pesen apa saja. Kalau sudah begitu senengnya minta ampun, langsung pesen makanan yang belum pernah di cicipi. Atau yang harganya paling mahal. Kan namanya juga aji mumpung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H