Partai Demokrat, partai yang didirikan, salah satunya oleh Pak Susilo Bambang Yudhoyono atau Pak SBY, pernah begitu digjaya pada pemilihan umum 2009. Partai berlambang bintang mercy itu, jadi jawara dalam rally adu raih suara. Di pemilu 2009, Demokrat berhasil mendulang 20,85 persen suara, mengalahkan Golkar yang pada waktu itu hanya bisa meraup 14,45 persen suara. Demokrat juga berhasil menenggelamkan PDI-P, yang hanya mendapatkan 14,03 persen suara.
Dengan raihan suara sebesar itu, partai yang kini diketuai oleh Pak SBY sendiri, mencatatkan diri di puncak papan klasmen pesta demokrasi 2009. Sekaligus oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), ditetapkan sebagai partai yang berhak mengangkat trofi pemilu legislatif 2009. Maka dengan dulangan suara paling besar, Demokrat dan Pak SBY, yang kala itu masih menjadi ketua dewan pembina partai, sangat pede untuk maju ke gelanggang pemilihan presiden atau Pilpres di tahun yang sama. Sebagai pemenang, Demokrat pun bagai gula manis yang banyak dirubung semut. Partai-partai peserta pemilu lainnya, terutama yang menempati posisi klasmen tengah dan yang terancam degradasi, ramai-ramai mendekatinya. Mereka melangkah dengan pasti mendekati rumah Demokrat, mengetuk pintunya, dan menyatakan cintanya kepada Pak SBY dan Demokrat. Mereka siap diajak koalisi.
Padahal sebelum hasil pemilu legislatif diketahui, partai-partai yang kemudian menghuni papan klasmen tengah dan bawah, berputar-putar, melangkah kemana-mana, bertamu ke rumah-rumah besar politik, mengetuk pintunya, seraya mengajak ngobrol tuan rumah, bagaimana bila nanti berkoalisi. Tapi, setelah diketahui Demokrat adalah tuan rumah yang banyak mendapatkan makanan, mereka pun ramai-ramai, adu gegas menuju halaman rumah Demokrat, mengetuk pintunya, dan tanpa basa-basi, menyatakan siap diajak berkoalisi.
Harapan mereka, setelah berkoalisi, dan kemudian Pak SBY menang di Pilpres, lalu jadi presiden, akan kebagian remah-remah politik di susunan kabinet menteri nanti. Padahal, sebelum semuanya pasti, mereka kebingungan, pada siapa mereka akan bergandengan tangan. Partai Ka'bah, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), misalnya sempat merapat ke Gerindra, partai yang didirikan Pak Prabowo Subianto, pensiunan jenderal bintang tiga yang juga pernah jadi komandan jenderalnya pasukan elit TNI-AD, Kopassus.
Tapi, karena arah angin politik masih belum jelas, PPP juga coba mengetuk pintu Golkar dan PDI-P. Dua partai ini, dalam pemilu sebelumnya adalah dua besar peraih suara terbanyak. Di pemilu 2004, beringin di urutan pertama peraih suara terbanyak, dan PDI-P, di posisi dua. Di pemilu sebelumnya lagi, yakni pemilu 1999, PDI-P adalah pamuncak klasmen pemilu. Sementara Golkar adalah runner up-nya. Demokrat malah belum ada. Baru di pemilu 2004, Demokrat pertama kali bertanding dalam kompetisi politik. Hasilnya lumayan, meski baru lahir, tapi partai ini berhasil menembus klasmen papan tengah. Raihan suaranya mencapai 7,45 persen atau 8, 4 juta suara. Â Padahal saat itu, yang jadi kontestan kompetisi politik cukup banyak, mencapai 24 partai.
Pemilu 2009, mungkin kenangan terindah yang dirasakan Partai Demokrat. Sebab pada pemilu itu, Demokrat raihan suaranya naik berlipat-lipat dibanding 2004. Total suara yang berhasil didulang bintang mercy itu, mencapai 21,7 juta suara atau 20,4 persen dari total suara nasional yang sah.  Kenangan manis itu, kian sempurna, setelah Pak SBY yang berpasangan dengan Pak Boediono, menang telak dalam Pemilihan Presiden 2009. Duet Pak SBY-Boediono, berhasil mengalahkan pasangan Ibu Megawati-Pak Prabowo dan Pak Jusuf Kalla (Pak JK)-Pak Wiranto. Raihan suara yang didapat duet Pak SBY-Pak Boed, mencapai 73,8 juta suara atau 60,80 persen. Sementara Ibu Mega dan Pak Prabowo hanya berhasil mendulang 32,5 juta suara atau 26,76 persen. Di urutan terakhir Pak JK dan Pak Wir, yang hanya bisa menambang dukungan 15 jutaan pemilih atau 12,41 persen.
Tapi kemudian badai pun datang. Adalah kasus yang melilit Bendahara Umum Partai Demokrat, M Nazaruddin yang kemudian meluluhlantakan kekuatan Partai Demokrat. Â Sebab, setelah Nazaruddin getol bernyanyi di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sederet putra terbaik Partai Demokrat, satu persatu masuk penjara, seperti Mbak Angelina Sondakh, lalu Pak Andi Mallarangeng, dan terakhir Mas Anas Urbaningrum, Ketua Umum Demokrat yang terpilih dalam kongres partai di Bandung. Mas Anas kini tak lagi menjadi ketua umum, setelah ia mengundurkan usai ditetapkan sebagai tersangka oleh komisi anti rasuah.
Cinta pendukung pun, kemudian perlahan menjauh. Bahkan, mereka seperti mulai menaruh benci kepada bintang mercy. Hasil survei Charta Politika, lembaga riset yang dikomandani Mas Yunarto mencatatkan itu. Survei Charta sendiri dilakukan pada 1-8 Maret 2014 dengan jumlah responden sebanyak 1200 orang. Hasilnya, Partai Demokrat bukan lagi, partai yang dianggap konsisten memberantas korupsi. Iklan katakan tidak pada korupsi, yang dulu jadi andalan bintang mercy saat menghadapi pemilu 2009, seperti hilang tak berbekas di ingatan publik.
Sebanyak 17,6 persen responden menyatakan PDI-P, adalah partai yang paling konsisten memberantas korupsi. Di urutan dua, Golkar dengan 11,4 persen, lalu diikuti Gerindra yang dianggap sebagai partai paling konsisten oleh 9,5 persen responden. Baru di bawah Gerindra, adalah Partai Demokrat, yang dinilai sebagai partai paling konsisten memerangi korupsi, hanya oleh 9,0 persen responden.
Nah, yang menarik adalah hasil sigi Charta tentang partai yang tidak disukai masyarakat alias dibenci publik. Ternyata, Partai Demokrat, dalam survei Charta, adalah partai yang paling tak disukai masyarakat. Partai Demokrat tak disukai oleh 17,1 persen responden. Di posisi dua, partai yang paling tak disukai masyarakat, adalah PKS. Partai kader ini, tak disukai oleh 8,5 persen responden. Berikutnya Golkar yang tak disukai oleh 6,6 persen responden. Sementara yang tak menyukai PDI-P, hanya 4,9 persen.
Apa yang dicatat Charta Politika, dalam surveinya,hanya menggambarkan, bahwa Demokrat yang dulu begitu banyak didukung dan dicintai, hingga jadi jawara pemilu, kini justru menjadi partai yang paling tak disukai  masyakarat. Dulu cinta, sekarang benci, mungkin itu kalimat yang bisa mewakili kondisi Demokrat saat ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H