Mohon tunggu...
Kang Jenggot
Kang Jenggot Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan swasta

Hanya orang sangat biasa saja. Karyawan biasa, tinggal di Depok, Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menanti Indonesia Hebatnya Mas Jokowi

12 April 2014   06:43 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:46 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahu iklan bertagline Indonesia Hebat? Jika sering mantengin layar kaca saat musim kampanye, pasti hapal iklan bertagline Indonesia Hebat. Ya, Indonesia Hebat, adalah tagline iklan dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau PDI-P. Bintang iklan tersebut adalah Ibu Megawati Soekarnoputri dan Mbak Puan Maharani, putri dari Ibu Mega.
Saat musim kampanye, iklan Indonesia Hebatnya Mbak Puan dan Ibu Mega berseliweran, bersaing tayang dengan iklan-iklan politik lainnya, seperti iklan Macan Asia-nya Pak Prabowo Subianto, iklan ARB-nya Pak Ical dan iklan lainnya, termasuk iklannya Pak SBY.
Menyerang lewat iklan, memang masih jadi pilihan favorit bagi partai mendekati pemilih. Luasnya jangkauan yang bisa direngkuh televisi, menjadi salah satu alasan, kenapa iklan politik digemari. Maka, partai-partai pun melakukan itu. Termasuk PDI-P dengan iklan Indonesia Hebatnya.
Hasilnya, menurut hasil hitung cepat PDI-P keluar sebagai partai pengumpul suara terbanyak, dengan raihan 19 persen suara. Golkar, berada diurutan dua, dengan dulangan suara sebanyak 14 persenan. Lalu, Gerindra menguntit dengan 12 persenan suara. Tiga partai itu pun, langsung ditasbihkan sebagai tiga besar pemenang pemilu 2014. Tapi setelah itu ramai dibicarakan tentang keampuhan Jokowi Effect. Ya, Mas Jokowi, atau bernama lengkap Joko Widodo, adalah orang yang telah diberi mandat oleh Ibu Mega untuk jadi capresnya PDI-P. Ibu Mega juga sudah kasih julukan, capres kerempeng tapi banteng.
Dalam bursa survei capres, Mas Jokowi untuk urusan gede-gedean elektabilitas adalah rajanya. Elektabilitas Mas Jokowi, melesat meninggalkan para pesaing terdekatnya. Pesaing terkuat Mas Jokowi, adalah Pak Prabowo yang sudah dicapreskan Partai Gerindra. Di bawah Pak Prabowo, adalah Pak Aburizal Bakrie atau Pak Ical.
Kini partai ketiganya, masuk tiga besar. Nah, berawal dari tingkat elektabilitas Mas Jokowi yang menjulang itulah, tema obrolan tentang keampuhan Jokowi effect ramai di bicarakan dimana-mana. Di republik Twitter, obrolan itu juga ramai dicuitkan.
Raihan 19 persen suara, dinilai masih kecil, bila memang Jokowi effect itu efektif. Maka muncullah kesimpulan, Jokowi effect, gagal alias tak ngefek kepada pasar elektoral PDI-P, partai yang akan mengusungnya dalam Pilpres. Sementara Prabowo effect, dinilai berhasil, karena faktanya raihan suara Gerindra menanjak.
Kalau Ical effect, nyaris tak ada yang membicarakannya. Obrolan lebih banyak seputar tentang Jokowi effect dan Prabowo effect yang kemudian dibanding-bandingkan. Apakah Jokowii effect memang tak ngefek?
Mungkin iya, mungkin keliru, semua masih bisa didebatkan. Pak Prabowo ngefek, mungkin ada kaitannya dengan guyuran iklannya di layar kaca yang nyaris tanpa henti tayang. Wajah Pak Prabowo pun, memang menjadi warna dominan dalam semua iklan yang ditayangkan Gerindra. Pun, wajah Pak Ical di iklannya beringin.
Lalu dimana wajah Mas Jokowi. Ternyata dalam iklan PDI-P, warna dominan adalah Ibu Mega dan Mbak Puan. Tak ada sedikit pun nongol iklan dengan rasa Mas Jokowi, misalnya menyelip sedikit di iklan Indonesia Hebat. Meski kemudian muncul iklan dengan wajah Mas Jokowi, tapi durasi tayangnya masih seujung kuku saja, dibanding iklan-iklan lainnya.
Mungkin juga itu strategi dari PDI-P, saya tak tahu. Maksudnya, untuk keperluan pemilu legislatif, yang dijual adalah wajah Mbak Puan dan Ibu Mega. Dan mungkin Indonesia hebat rasa Mas Jokowi akan ditampilkan saat Pilpres. PDI- P sepertinya tak menerapkan rumus sekali dayung dua pulau terlampaui. Maksudnya sembari membidik Pileg, juga mengenalkan capresnya sekalian yang bakal diadu dengan jagoan partai lain. Banteng sepertinya lebih memilih melampui pulau satu persatu. Sementara partai pesaing terdekatnya, Gerindra dan Golkar langsung menyerang dengan cara sapu bersih. Sekali tepuk, banyak pemilih yang disapa.
Tapi sudahlah, semua sudah berlalu. Pileg telah usai, hasilnya PDI-P meraup 19 persenan suara, yang diiringi setelah itu dengan polemik Jokowi effect. Pertanyaannya, apakah mungkin Jokowi effect tak ngefek karena promosinya tak seperti Pak Prabowo, yang memasarkan partai sekaligus dirinya dalam satu paket? Mungkin iya, mungkin juga tidak, saya bukan ahli marketing politik.
Tapi dalam pikiran saya, andai saja yang dipromosikan PDI-P itu adalah Mas Jokowi, atau setidaknya wajah Mas Jokowi itu nyelip sekali-sekali diantara Mbak Puan dan Ibu Mega, mungkin hasilnya akan lain. Toh, pada akhirnya yang jadi ujung dari pertarungan itu semua adalah kursi kepresidenan. Bukan penguasa di parlemen, walau itu pun penting untuk mengamankan tiket ke Istana. Golkar pernah merasakan pahitnya kondisi seperti itu pada 2004, juara di Pileg, tapi jeblok di Pilpres. Pun, PDI-P sebenarnya pernah mengalami hal serupa pada pemilu 1999. Banteng kala itu sukses keluar sebagai pengumpul suara terbanyak, tapi gagal mengantar Ibu Mega menjadi Presiden. Saat itu pemilihan masih di MPR. Ibu Mega kalah oleh Kyai Gus Dur, almarhum, yang disorong oleh kekuatan poros tengah. Tapi, sejarah pun mencatatkan, poros tengah pula yang 'memakzulkan' Kyai Gus Dur.
Padahal kalau dihitung-hitung, antara Pileg dan Pilpres itu jedanya sangat pendek. Pileg pada bulan April, sementara Pilpres awal Juli, tepatnya 9 Juli, bila tak ada aral melintang. Pertanyaannya, kenapa tak dari sejak diberi mandat, Mas Jokowi langsung dipromosikan menjadi bagian dari Indonesia Hebatnya PDI-P? Mungkin, bila sejak diberi mandat, wajah Mas Jokowi juga mewarnai iklan Indonesia Hebatnya PDI-P, nongol diantara Mbak Puan dan Mega, hasil bisa saja lain. Dan, baru setelah itu, dibandingkan hasilnya mana yang ngefek dan mana yang tidak. Kalau sekarang, ya enggak pas juga ngitung dan membandingkan ngefek tidaknya Jokowi effect. Faktanya, Mas Jokowi tak ngiklan, sehebat Indonesia Hebatnya Bu Mega dan Mbak Puan, atau raungan Macan Asia-nya Pak Prabowo. Kalau saja ada Indonesia Hebatnya Mas Jokowi, yang tak kalah sering nongol dilayar kaca dengan yang lainnya, hitungan tentang ngefek tidaknya, mungkin akan lebih pas. Sekarang palingan yang sering nongol adalah Mas Jokowi imitasi, itu pun Mas Jokowi KW2-nya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun