Mohon tunggu...
Kang Jenggot
Kang Jenggot Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan swasta

Hanya orang sangat biasa saja. Karyawan biasa, tinggal di Depok, Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mereka Pembantu Presiden yang 'Naik Kelas'

16 Februari 2015   05:18 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:07 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagi seorang siswa, fase naik kelas tentu sangat membanggakan, karena status meningkat, dari yang tadinya kelas satu naik ke kelas dua. Tinggal kelas alias tak naik kelas, tentu itu berita buruk. Pun di bidang kehidupan lainnya, peningkatan status, kondisi sosial atau jabatan adalah hal yang diidamkan. Seseorang yang tadinya biasa saja, kemudian berhasil jadi pengusaha sukses misalnya, ia bisa dikatakan telah naik kelas.
Begitu juga dalam birokrasi, tentara atau polisi. Si A perwira naik pangkat jadi bintang satu, si B naik jabatan dari direktur jadi dirjen, adalah contoh kisah naik kelas, karena posisinya meningkat ke atas. Status pun lebih tinggi dari sebelumnya. Bila, si A tetap perwira menengah, sementara kawan satu angkatan naik pangkat, ia bisa dikatakan karirnya stagnan, atau kalah di salip yang lain. Apalagi bila kemudian ia di lempar ke posisi yang tak strategis, itu sama artinya karir 'melempem' atau menurun. Itu masih mending, daripada justru pangkatnya turun,karena melakukan pelanggaran. Jika turun, artinya karirnya buruk.
Bagaimana dengan bidang politik? Ya sama saja. Hatta Rajasa misalnya naik kelas ketika dia jadi Ketua Umum PAN. Hatta dikatakan naik kelas, ketika diangkat jadi Menko Perekonomian,karena sebelumnya ia hanya jadi Menteri Sekretaris Negara. Kenapa naik kelas, karena posisi Menko bisa dikatakan 'kastanya' lebih tinggi dari Mensesneg. Menko membawahi atau mengkoordinir beberapa menteri. Ya namanya juga menteri koordinator.
Namun kisah naik kelas yang paling diidamkan para pejabat atau politisi, adalah ketika berhasil jadi orang nomor satu di Indonesia alias jadi Presiden. Jadi Presiden adalah puncak dari pencapaian kelas seorang politisi. Bahkan ini puncak dari segala puncak cita-cita anak negeri. Sebab jadi Presiden sama artinya jadi orang paling nomor satu di negeri ini. Ia kepala negara. Ia pula kepala pemerintahan. Seorang Presiden juga adalah Panglima Tertinggi. Jadi dia paling tinggi dari segala posisi di negeri ini.
Dan, hanya beberapa orang yang bisa menggapai puncak karir tertinggi di negeri ini. Tapi dari beberapa orang ini, segelintir diantaranya menjadi Presiden lewat sebuah proses yang disebut naik kelas. Atau sederhanya, dari posisi menteri yang notabene adalah pembantu presiden, dia naik kelas jadi presiden.
Siapa saja mereka? Yang pertama adalah Jenderal Soeharto yang sekarang jadi almarhum. Sebelum jadi presiden, Soeharto adalah Menteri Panglima Angkatan Darat (Menpangad). Soeharto jadi Menpangad, setelah Jenderal Ahmad Yani, Menpangad sebelumnya terbunuh dalam peristiwa penculikan di tahun 1965. Menpangad adalah salah satu pembantu presiden yang saat itu dijabat oleh Soekarno. Jadi Soeharto adalah pembantu Presiden Soekarno.
Nah, ketika Soeharto menjadi Presiden bisa dikatakan dia naik kelas, karena dari pembantu lantas naik jadi Presiden. Ini sama dengan ilustrasi, si A naik kelas dari kelas satu naik ke kelas dua.
Lalu siapa lagi pembantu presiden yang naik kelas jadi presiden? Pembantu presiden lainnya yang naik kelas jadi presiden adalah BJ Habibie. Namun Habibie tak langsung naik kelas jadi presiden, tapi naik dulu ke posisi wakil presiden sebelum akhirnya menduduki jabatan 'kasta tertinggi' dalam struktur pemerintahan menjadi presiden.
Sebelum jadi wakil presiden, Habibie adalah pembantu presiden. Dia membantu Presiden Soeharto dengan menjadi Menteri Riset dan Teknologi. Ya, Habibie memang seorang ahli riset dan teknologi. Di eranya, ia membidani lahirnya industri pesawat nasional lewat Industri Pesawat Terbang Nurtanio (IPTN) yang kemudian berubah nama menjadi PT Dirgantara Indonesia atau PT DI. Habibie pun bisa dikatakan menjadi salah satu tangan kanan Presiden Soeharto. Hingga kemudian Soeharto memilih Habibie mendampinginya sebagai Wakil Presiden.
Soeharto pun menyatakan mundur pada 21 Mei 1998, setelah di desak untuk lengser oleh gelombang demonstrasi mahasiswa yang terjadi dimana-mana ketika itu. Setelah Soeharto turun, secara otomatis Habibie yang naik menjadi Presiden, karena konstitusi menyatakan seperti itu. Jadilah Habibie naik kelas dari pembantu presiden naik jadi Wapres naik lagi jadi Presiden.
Susilo Bambang Yuudhoyono atau biasa dikenal dengan sebutan SBY juga adalah pembantu presiden yang naik kelas jadi presiden. SBY, sebelum jadi presiden sempat jadi pembantu presiden alias jadi menteri. Dia, pertama kali jadi menteri di era Gus Dur. Ia diangkat oleh Gus Dur, menjadi Menteri Pertambangan dan Energi. Kemudian di era Megawati jadi Presiden, SBY kembali masuk kabinet. Bahkan 'kastanya' naik setingkat, karena dia diangkat menjadi Menteri Koordinator Politik dan Keamanan (Menkopolkam).
Menjelang pemilihan presiden digelar, SBY mengundurkan diri dari jabatan Menkopolkam. Penyebabnya, SBY merasa kecewa karena tak diundang rapat kabinet lagi oleh Megawati. SBY pun pamit dari kabinet. Apalagi ketika itu suami Megawati Taufik Kiemas melontarkan pernyataan nyinyir, "Jenderal kekanak-kanakan,".
Dalam pemilihan presiden 2014 yang merupakan pemilihan presiden pertama secara langsung, SBY maju bersama Jusuf Kalla. Jusuf Kalla juga adalah pembantu Megawati di kabinet. Jabatan Jusuf Kalla di kabinet adalah Menko Kesejahteraan Rakyat atau Menko Kesra. Ia juga mengundurkan diri dari kabinet menjelang pemilihan digelar. Nah, salah satu rival SBY dan Jusuf Kalla di Pilpres adalah Megawati Soekarnoputri, bos SBY dan Jusuf Kalla di kabinet. Kala itu Megawati menggandeng Kyai Haji Hasyim Muzadi sebagai calon wakil presiden. Secara keseluruhan, ada lima pasangan calon yang bertarung memperebutkan tiket ke Istana. Termasuk salah satunya pasangan SBY dan Megawati dengan pasangannya masing-masing.
Dewi fortuna pun berpihak pada dua anak buah Megawati. Di putaran pertama SBY mengungguli Megawati. Karena tak ada yang menang 50 persen lebih, maka pemilihan dilangsungkan dengan dua putaran. Dua pasangan calon peraih suara terbesar maju ke putaran dua. Dua pasangan calon yang maju ke putaran dua adalah pasangan SBY dengan Jusuf Kalla dan Megawati dengan Kyai Hasyim Muzadi. Sejarah pun mencatatkan, SBY bersama Jusuf Kalla unggul atas Megawati dan Kyai Hasyim. Jadilah kemudian SBY sebagai Presiden pertama yang terpilih secara langsung. SBY pun naik kelas dari yang tadinya hanya pembantu presiden menjadi presiden. Menariknya yang dikalahkan SBY di Pilpres adalah mantan bosnya di kabinet alias 'majikan SBY' yakni Megawati Soekarnoputri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun