Ayat tersebut secara tidak langsung juga telah menjelaskan pada kita bahwa tidak adanya keunggulan suatu kabilah, suku, maupun bangsa atas kabilah, suku, dan bangsa yang lain.
Dengan demikian, Amerika tidaklah lebih mulia dari China. China tidak lebih terhormat dari Indonesia. Suku Jawa tidak lebih baik dari suku Asmat, dan seterusnya.
Sebab yang menjadi ukuran kemuliaan derajat manusia yang sesungguhnya adalah berdasarkan tingkat ketaqwaan mereka di sisi Allah SWT.
Dengan adanya konsep ini, maka secara sendirinya telah tercipta keadilan bagi seluruh umat manusia yang diciptakan oleh Allah SWT, meski latar belakang mereka saat ini tampak berbeda.
Hal ini dikarenakan setiap manusia memiliki kesempatan yang sama untuk menaiki strata kemuliaan sebagai seorang hamba berdasarkan ikhtiar ketaqwaan mereka kepada Allah SWT.
Ketiga, Kewaspadaan Diri dari Sikap Merasa Paling Mulia
Dari adanya konsep yang diterangkan di dalam QS Al-Hujurat ayat 13 ini sepatutnya kita juga dapat menjadi semakin waspada bahwa secara asal kita sebagai manusia sekaligus sebagai seorang hamba memiliki kedudukan yang sama di sisi Allah, meski latar belakang penciptaan kita ada yang sedikit tampak berbeda.
Kemudian berangkat dari modal awal kedudukan yang sama sebagai manusia tersebut keadaannya dapat semakin meningkat atau justru semakin menurun seiring berubahnya kesungguhan ikhtiar untuk bertaqwa kepada Allah SWT.
Dengan memahami hal tersebut, maka sewajarnya kita tidak lagi merasa diri paling mulia karena berasal dari ras maupun bangsa tertentu.
Bahkan, kita juga tidak sepatutnya merasa lebih mulia dari orang lain sekalipun keadaan kita saat ini dari segi perekonomian maupun status sosial terlihat lebih gemilang dibandingkan dengan orang-orang di sekeliling kita.
Sebab kita sadar bahwa penilaian kemuliaan yang sesungguhnya adalah berdasarkan ukuran ketaqwaan kita.