Pada suatu ketika, Baginda Nabi Muhammad SAW pernah berpesan kepada para sahabat beliau:
"Bersikap jujurlah kalian, karena sesungguhnya kejujuran itu akan membimbing kepada kebaikan. Dan kebaikan itu akan membimbing pada surga. Seseorang yang senantiasa berlaku jujur dan memelihara kejujuran, maka ia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Dan hindarilah perilaku dusta. Karena dusta itu akan menggiring kepada kejahatan dan kejahatan itu akan menjerumuskan pada neraka. Seseorang yang senantiasa berdusta dan memelihara kedustaan, maka ia akan dicatat sebagai pendusta di sisi Allah." (HR. Bukari, Muslim, Tirmidzi dan Ahmad ibn Hanbal).
Berdasarkan penjelasan hadits tersebut kiranya kita dapat memahami tentang pentingnya sikap memilihara kejujuran dalam keseharian kita, dimana penerapannya dapat dimulai dari lingkungan terdekat kita, yakni diri kita sendiri dan keluarga kita, hingga pada lingkungan yang lebih luas, yakni masyarakat di sekitar kita.
Untuk memelihara kejujuran pada setiap kesempatannya tentu kita tidak akan bebas begitu saja dari halangan. Sebab dalam memelihara kejujuran itu kita mungkin akan berhadapan dengan rintangan yang berasal dari orang terdekat kita maupun yang berasal dari sistem di mana kita tinggal, dimana mereka menghendaki kita untuk berlaku sebaliknya.
Akan tetapi, sesulit apapun keadaan dalam memelihara kejujuran tetaplah ia harus diperjuangkan dengan sekuat dan semampu kita.
Bahkan jika kita telah merasa putus asa untuk memelihara kejujuran itu karena begitu beratnya untuk mewujudkan hal itu di lingkungan kita, maka kita dapat memulainya dari hal-hal yang terkecil.
Semisal pada saat kita berbelanja, saat bercengkerama dengan kerabat atau sahabat kita, kita mulai menumbuhkan kejujuran itu.
Dengan demikian secara tidak sadar kemungkinan upaya memelihara kejujuran ini kelak akan berkembang dengan sendirinya dalam spektrum yang lebih luas sebab adanya keinginan pada diri kita maupun komunitas di sekeliling kita untuk terus menjaga kejujuran.
Berkait dengan upaya menjaga kejujuran ini kita sepatutnya juga tidak henti-hentinya bersyukur kepada Allah yang telah membimbing kita sehingga dapat terus berlatih untuk menjaga kejujuran.
Salah satu bentuk upaya dari Allah untuk menumbuhkan komunitas yang jujur di lingkungan kita adalah dengan cara mewajibkan kita yakni para hamba-Nya yang beriman untuk melaksanakan puasa Ramadhan.
Hal ini sebagaimana yang ditegaskan di dalam QS Al-Baqarah ayat 183 berikut:
"Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana yang juga telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertaqwa."
Jika kita mencermati isi dalam ayat tersebut, Allah hanya menggunakan sapaan terhadap orang-orang yang beriman ( ), dan tidak menggunakan sapaan dengan menggunakan kata 'wahai manusia', 'wahai orang-orang yang pendusta', apalagi 'wahai orang-orang yang ingkar'.
Hal ini dikarenakan modal utama seseorang akan dapat merasakan manfaat secara ruhani dari pelaksanaan ibadah puasa ini adalah dengan berlandaskan keimanan mereka kepada Allah.
Tanpa adanya modal keimanan kepada Allah, mereka mungkin masih akan mendapatkan manfaat dari ibadah puasa, semisal kondisi badan menjadi lebih sehat, kondisi psikologis relatif menjadi lebih tenang, maupun berbagai dampak positif lainnya.
Akan tetapi untuk mendapatkan manfaat yang lebih utama dari ibadah puasa, yakni memperoleh derajat ketaqwaan, maka hal ini terlebih dahulu harus dilandasi dengan keimanan kepada Allah SWT.
Pondasi keimanan inilah yang kelak juga mengarahkan seseorang itu akan melaksanakan ibadah puasa tersebut semata-mata untuk mendapatkan ridha dari Allah SWT.
Tanpa adanya keimanan kepada Allah dan harapan yang sungguh-sungguh untuk meraih ridha dari-Nya ini, sangat mungkin dia bisa saja mengaku berpuasa ketika bertemu dengan orang lain, kemudian dia tetap saja makan dan minum ketika sedang sendiri, atau dalam istilah Jawa-nya melakukan puasa 'sapi'---setelah makan dan minum 'diusapi'Â (dihilangkan jejaknya agar tetap kelihatan seolah-olah berpuasa).
Hal tersebut terjadi lantaran mereka belum bisa meyakini/mengimani adanya kesaksian Allah beserta para malaikat-Nya ketika mereka sedang sendiri dan tidak berpuasa di siang hari.
Kondisi sebaliknya akan terjadi jika seseorang berpuasa dengan landasan keimanan, maka baik adanya kesaksian dari orang lain maupun tidak, maka mereka akan tetap terus menjaga puasanya dari hal-hal yang dapat membatalkan puasa maupun dari hal-hal yang akan mengurangi keutamaan puasa tersebut di sisi Allah.
Mereka tidak hanya sekadar menahan diri untuk tidak makan minum di siang hari, tidak berhubungan badan selama berpuasa, bahkan mereka pun tidak akan rela manakala mereka berpuasa sementara yang akan mereka peroleh kelak adalah hanya rasa lapar dan dahaga, sebab mereka seolah-olah berpuasa namun tetap saja melakukan perbuatan apa saja yang dapat mengurangi fadhilah puasa tersebut.
Oleh sebab itulah, orang-orang yang beriman manakala berpuasa mereka akan senantiasa menjaga kejujuran perilakunya. Mulai dari ketulusan komitmen mereka untuk berniat puasa, melaksanakan puasanya dengan sungguh-sungguh untuk mendapat ridha Allah, hingga melakukan berbagai upaya untuk memaksimalkan keutamaan ibadah puasa tersebut di sisi Allah.
Dengan adanya ragam ikhtiar inilah yang barangkali kelak juga akan menuntun langkah-langkah mereka menuju manusia yang paripurna (ahsanu taqwiim), yakni sebagai pribadi yang dicintai oleh Allah dengan predikat orang-orang yang bertaqwa memiliki yang sesungguhnya di sisi Allah SWT. Wallahu a'lam. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H