Matahari pagi meninggi perlahan untuk membagi cahayanya ke seluruh semesta. Sepanjang waktu ia seakan tak pernah bosan untuk menyibak apa saja yang tersembunyi di balik kegelapan.Â
Tanpa ragu ia memasuki atap-atap plafon rumah warga yang sangat gulita dan sering luput dari perhatian. Di dalam ruang yang pengap itu ternyata tersimpan kehidupan sekawanan makhluk lengkap dengan ragam budayanya. Mulai dari tikus, nyamuk, serangga hingga belatung yang berperan sebagai pelengkap kehidupan.Â
Pada hari itu Profesor Belatung sedang membikin acara seminar secara semi tertutup. Seminar tersebut disebut semi tertutup sebab memang secara nyata kondisi sebagian pesertanya dalam keadaan tertutup oleh bangkai binatang yang saat itu akan mereka makan.
Seminar tersebut bertajuk "Kesadaran Eksistensial Penciptaan Belatung". Pihak panitia yang terdiri dari para akademisi dan insan cendikiawan menganggap tema tersebut sangat pas untuk dikaji agar komunitas mereka tidak lagi mengeluh kepada Tuhan, mengapa mereka harus diciptakan dalam keadaan yang sedemikian rupa.
Mereka hidup dalam bentuk ginak-ginuk tanpa bulu yang belum tentu semua makhluk menyukainya. Belum lagi tugas mereka yang dirasa terlampau berat, sebab setiap saat mereka harus siap berurusan dengan bangkai binatang dan makanan kedaluwarsa.
Meski tema ini sebenarnya sudah sering diulas pada beberapa seminar sebelumnya, namun para peserta seakan tak pernah surut antusiasnya untuk terus menyimak.Â
Sebab mereka ingin selalu sadar akan hakikat penciptaan diri mereka, sehingga mereka tak lagi berkecil hati ketika menghadapi perundungan makhluk-makhluk yang lain.
Dengan adanya pemaparan dari seorang profesor yang sekaligus praktisi dalam hikmah kehidupan, para belatung pun berharap usai mengikuti seminar nanti mereka dapat terus menjaga gairah hidup, lantaran mereka semakin paham akan wisdom penciptaan entitas mereka sebagai binatang melata.Â
Apalagi hierarki akademisi dalam kehidupan belatung sendiri tidaklah sembarangan. Dengan adanya batasan waktu yang relatif singkat untuk ukuran masa hidup sebuah makhluk, mereka dituntut untuk bisa belajar dengan sangat cepat dan sesuai jalurnya.Â
Jika ada pihak yang hendak mencari jalan pintas untuk meningkatkan jenjang kepakaran hanya dengan menyogok sejumlah materi, hal itu sangat tidak berlaku di sini. Sebab yang menjadi ukuran tridharma dalam kurikulum pendidikan mereka adalah pemahaman, kebijaksanaan dan tingkat kebermanfaatan mereka untuk kehidupan.Â
Pihak mana saja yang hendak memanipulasi hal itu dengan memberi sejumlah materi, sudah pasti mereka akan mudah gugur dengan sendirinya. Sebab dapat dipastikan ketiga dharma tersebut akan sulit untuk diterapkan.
Di tengah-tengah acara seminar tersebut Profesor Belatung menjelaskan, "Kita tidak perlu memprotes pada Tuhan kenapa kita harus diciptakan dalam keadaan yang seperti ini, sebab bentuk ini pun ternyata ada manfaatnya."
"Di antara manfaatnya adalah ternyata bentuk kita ini sangat imut, sehingga akan mengundang selera makan para burung untuk mematuknya." Profesor Belatung menambahkan.Â
"Bukankah hal ini justru akan membahayakan keselamatan kita, Prof?" seorang peserta yang bergelar PhD mencoba mengklarifikasi.Â
"Jelas tidak. Sebab manakala ini terjadi, maka ini adalah bagian dari dharma kita dalam rantai makanan. Jadi, kita tidak perlu takut apalagi menyesalinya." Profesor Belatung menjawab dengan tenang.Â
"Selanjutnya, mengenai makanan kita yang sangat akrab dengan hal-hal yang berbau amis dan menjijikkan, kita pun tidak perlu mengeluhkan hal ini kepada Tuhan. Sebab ternyata ada makhluk lain yang makanannya lebih menjijikkan dari kita. Sudah tahukah kalian?"
"Tidak tahu, Prof." Semua peserta seminar menjawab secara serentak.
"Mereka adalah manusia. Coba kalian telusuri data dan hasil penelitian sebelumnya, sebagian besar dari mereka ada yang saling memakan satu dengan yang lain hanya untuk mempertahankan eksistensi mereka. Bukankah keadaan ini tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan kebudayaan kita."
"Kenapa demikian, Prof?" seorang peserta seminar yang bergelar magister ingin tahu.Â
"Sebab saat kita memakan sesuatu itu adalah sebagai tugas dan kesadaran kita sebagai makhluk yang cinta dengan kebersihan. Kita tidak tega manakala lingkungan kita menjadi tidak bersih gara-gara ada bangkai atau sisa-sisa makanan yang dibuang sia-sia. Bukankah Tuhan sendiri sangat cinta dengan para hamba-Nya yang memperhatikan kebersihan?"
"Benar, Prof." jawab seluruh belatung dengan memanggut-manggutkan badan imut mereka.
"Baiklah, saat ini ada bangkai seekor tikus besar di hadapan kita. Sudah pahamkah apa yang seharusnya kita kerjakan?"
"Membersihkannya." jawab semua peserta seminar dengan kompak.
Beberapa saat kemudian acara seminar itu pun berakhir dan ditutup dengan doa makan. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H