Seperti biasanya, aku selalu paling antusias saat akan mengikuti tawuran. Maklum saja, di sekolah aku terkenal sebagai petarung paling hebat, sehingga aku selalu disegani oleh kawan-kawanku.
Tak cukup sampai di situ, para geng dari sekolah lain pun selalu mempertimbangkan kehadiranku, lantaran dalam tiga tahun terakhir tawuran hampir pasti berakhir dengan kemenangan dari pihak sekolahku dengan adanya keterlibatanku.
Maka tak heran, setiap kali berhadapan dengan murid dari sekolah lain, aku sering membuat gentar lawan dengan berkacak pinggang. Boleh saja kan aku sesumbar sebab kepiawaian tarungku yang hampir pasti selalu menang kalau berduel satu lawan satu.
Sebenarnya, setiap akan bertarung, aku selalu dihinggapi oleh rasa penasaran dengan sesosok bernama Bang Pitung. Sebab saat awal kali aku masuk sekolah dulu, salah satu seniorku sempat berpesan untuk mewaspadai sosoknya.Â
Tidak jelas siapa sebenarnya Bang Pitung itu dan dari sekolah mana ia berasal. Namun, mentor bertarungku itu menceritakan ciri-cirinya dengan sangat rinci.
"Perawakan Bang Pitung tidak terlalu tinggi dan tidak berbadan gempal. Kondisi fisiknya biasa saja dan sangat jauh dari ukuran ideal petarung jalanan pada umumnya.
Namun, sebenarnya bukan itu yang menjadi kehebatan Bang Pitung. Ia adalah sosok yang penuh kharisma. Coba saja jika engkau berani menatapnya." Senior yang saat itu menjadi ketua geng di sekolahku itu mulai menjelaskan.
"Bang Pitung adalah sesosok yang murah senyum dengan sorot mata yang teduh. Pandangannya seringkali menyimpan sebuah pesan bahwa persaudaraan lebih utama dari sekadar menunjukkan kehebatan." Tambahnya.
"Bang Pitung selalu datang dengan menunggangi Honda Pitung berwarna merah, mungkin dari kendaraan inilah asal julukannya. Kendaraannya ini sendiri seakan juga membawa pesan, saat kendaraan tua ini mendekat perlahan, maka saat itu pula sehebat apapun perkelahian harus lekas dihentikan."
"Bagaimana jika aku meneruskan perkelahian?" Aku mencoba mencandai senior yang kelak sering mengajakku berlatih tarung ini.
"Sampai saat ini belum ada yang berani mencobanya. Barangkali kamu mau jadi yang pertama." Jelasnya dengan mimik muka yang tidak sedang bercanda.
Hingga tiga tahun perjalanan tawuran aku belum pernah bertemu sekali pun dengan sosok Bang Pitung. Inilah yang terkadang membuatku merasa penasaran sebelum memulai pertarungan, sebegitu hebatkah Bang Pitung yang dimaksud, sehingga tak ada satu pun yang berani bermain-main sewaktu berhadapan dengannya. Ingin sekali aku membuktikan sendiri kehebatan dari sesosok legendaris itu dengan mengajaknya duel satu lawan satu.
***
Seperti biasa, sejenak waktu pertarungan selalu terasa sangat lama. 5 menit perkelahian, serasa sudah berjam-jam lamanya, khususnya bagi pihak yang tersudut dan menunggu waktu untuk mengakui kekalahan.
Untunglah pada tawuran kali ini, keberuntungan masih menaungi geng dari sekolahku. Aku sudah menundukkan ketua geng dari sekolah itu dan hendak melayangkan sekali dua kali sapaan yang akan mengantarnya beristirahat tenang di rumah para pesakitan. Namun, belum sempat aku menuntaskan hajatku itu tetiba aku dikejutkan dengan sebuah teriakan.
"Aji, berhenti Ji. Ada Bang Pitung." Teriak salah seorang anggota gerombolan gengku sambil menunjuk pada sosok yang dimaksud.
Aku mencoba mengikuti arah telunjuk yang dimaksud. Tampak seorang lelaki muda yang mengendarai motor tua, Honda C70 menyibak jalanan dengan begitu tenangnya. Kendaraannya berjalan dengan sangat perlahan, kecepatannya mungkin tak lebih dari 25 kilometer per jam. Lelaki itu persis menatapku dengan pandangan yang teduh sembari tersenyum dan terus berjalan.
Entah kenapa, seketika bulu kudukku serasa berdiri semua sewaktu melihat tatapan seseorang yang bergelar Bang Pitung itu. Pandangannya seakan membuka kesadaranku bahwa yang baru saja kutemui bukanlah orang biasa. Dengan sekali tatap saja, seakan langsung lunglai semua otot dan syaraf di sekujur tubuhku.
Aku langsung mengurungkan niat untuk menendang perut lawan yang masih tergeletak di tepi jalan. Si pesakitan itu pun segera bangkit dari pembaringannya dengan dibantu oleh dua rekannya.
Pada pertarungan kali ini seakan semuanya bersepakat bahwa pertarungan kali ini harus disudahi tanpa lagi peduli siapa pemenangnya. Sebab apalah artinya kemenangan jika semua harus tunduk dengan hadirnya seorang pengendara.
Aku benar-benar tidak menyangka, pada akhirnya aku akan bertemu dengan sosok legendaris bernama Bang Pitung itu. Sosoknya begitu kharismatik yang lantas menyadarkanku bahwa kehebatanku selama ini tak bernilai apa-apa ketika sudah di hadapan wibawanya. Sepanjang malam aku selalu dihantui angan-angan untuk menyudahi kebiasaanku berkelahi dengan para geng dari sekolah lain. Kekuatanku seakan sudah lenyap semua hanya karena sebuah pandangan mata.
***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI