Beberapa waktu yang lalu, saat saya pertama kali menulis konsep dari tulisan ini, hati saya sedang gembira luar biasa. Lantaran saat menuliskannya saya berada dalam keadaan yang tidak terlalu kenyang dan tidak merasakan lapar. Hal ini dikarenakan sebelumnya saya telah mengisi perut saya dengan semangkuk bubur campur.
Hal yang menurut saya sangat berkesan dari bubur campur yang telah saya santap sebagai menu sarapan di waktu itu adalah berkait dengan proses saya memperolehnya.
Awalnya, di depan sebuah gang masjid, saya melihat ada seorang ibu-ibu penjual bubur campur yang tengah menyiapkan pesanan untuk seorang pembeli yang berdiri di depannya. Tanpa saya sadari ternyata pembeli yang seorang bapak-bapak itu juga tengah memperhatikan saya.
Uniknya, bapak-bapak itu dengan sikap yang sangat sopan mempersilakan saya untuk memesan bubur terlebih dahulu, yakni dengan cara menjeda pesanannya. Saya rasa sikap bapak itu sungguh luar biasa, sebab ia rela disela pelayanannya. Ia menuturkan pada saya bahwa pesanannya itu sangat banyak sehingga ia pun khawatir saya akan mengantre terlalu lama akibat menunggu pesanannya yang tak kunjung selesai. Entah untuk siapa saja bubur itu ia pesan.
Saya sempat menolak tawaran dari bapak itu. Akan tetapi oleh karena beliau sedikit memaksa saya, maka saya pun tidak menyia-nyiakan niat baik beliau.
Saya pun memesan semangkuk bubur dari ibu itu. Si ibu itu balik bertanya kepada saya tentang paket yang hendak saya beli, apakah yang harganya Rp3.000 atau Rp5.000.
Saya yang pada waktu itu menduga paket itu hanyalah perkara porsi dan bukan komposisi bubur yang ada di dalamnya, maka saya pun memutuskan untuk memilih paket yang ekonomisnya saja, Rp3.000.
Begitu ibu itu selesai meracik hidangan dan menyerahkannya pada saya, saya pun mencoba untuk mulai menikmati suapan demi suapan bubur campur racikan ibu paruh baya itu. Saya rasakan rasanya pas. Tidak kurang tidak lebih. Tidak terlalu manis dan tidak terlalu tawar. Porsinya pun pas untuk mengisi perut saya yang lekas mulai terasa lapar.
Usai menikmati sajian dari ibu itu saya mengeluarkan uang lima ribuan untuk membayar sarapan bubur yang telah saya santap. Namun sungguh aneh, ibu itu ternyata menolak pembayaran uang dari saya dengan alasan sudah ada yang membayar sebelumnya.
Ibu penjual itu melirikkan pandangannya ke arah lelaki yang ada di hadapannya, sebagai isyarat bahwa dia lah orang yang telah mentraktir saya. Saya melihat lelaki paruh baya itu tampak tersenyum saja memandangi saya seraya berkata bahwa ia telah mentraktir saya.
Hanya ucapan banyak-banyak terima kasih yang dapat saya sampaikan kepadanya sambil mengiringkan doa agar kebaikan senantiasa mengalir atas kehidupannya dan seluruh keluarganya.
Bagi saya, pengalaman tersebut sungguh luar biasa, memperoleh traktiran bubur campur gratis dari orang yang tak pernah saya kenal sebelumnya. Saya yakin masih banyak sekali orang-orang budiman lain seperti bapak itu di dunia ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H