Pada pekan ini, kita telah disuguhi berita dari berbagai media tentang keadaan warga Desa Sumurgeneng Tuban yang tanahnya dibeli oleh pihak Pertamina, sebagai bagian dari rangkaian proses pembebasan lahan untuk proyek kilang minyak.
Sekonyong-konyong mereka yang telah dibeli tanahnya itu pun dipersepsikan sebagai orang kaya baru, baik itu oleh warga yang lain maupun media.
Oleh sebab pihak Pertamina membeli tanah mereka dengan nilai yang sangat tinggi sebagai kompensasi atas pembebasan lahan ini, maka warga desa itu pun serasa mendapat durian runtuh alias rejeki nomplok.
Fenomena ini ternyata berlanjut dengan aksi beberapa warga desa itu yang secara berduyun-duyun membeli sejumlah 176 mobil dengan memanfaatkan aset "tebusan" itu.
Aksi mereka ini pun ditengarai oleh pertimbangan mereka yang juga tengah memanfaatkan kebijakan pemerintah yang menetapkan pajak 0 persen untuk pembelian mobil baru.
Secara sekilas, peristiwa ini mungkin akan berkesan sebagai anomali mengingat sebagian besar warga kita tengah mengalami kesulitan finansial akibat pandemi. Dengan pundi-pundi harta yang ada dalam genggaman, mereka seakan justru tampak begitu mudahnya untuk menghamburkan dana segar tersebut.
Saya ulangi sekali lagi, saya menyebutnya sebagai dana segar. Seperti halnya air yang segar, ia memiliki kecenderungan untuk menjadi daya tarik bagi siapa saja yang ingin segera mereguknya.
Terutama di tengah-tengah dahaga perekonomian sebagai dampak dari kemarau pandemi yang berkepanjangan ini. Bisa jadi dana segar itu ibarat tirta harapan yang telah tersedia dalam telaga kenyataan.
Baiklah, masih dalam bahasan dana segar ini. Jika saya boleh meminjam istilah dari ilmu akuntansi, dana segar ini sebenarnya termasuk dalam kategori aset lancar (current assets) yang dimiliki oleh seseorang atau pemilik usaha.
Kelompok aset lancar itu sendiri antara lain meliputi kas, piutang, perlengkapan, persediaan bahan baku, dan bermacam aset lainnya.
Kelompok ini termasuk dalam kategori aset lancar oleh sebab sifat mereka yang likuid alias relatif mudah untuk diuangkan, dicairkan atau untuk ditransaksikan dibanding kelompok harta lainnya yang masuk kategori aset tetap.
Sedangkan aset tetap (fix assets) atau yang biasa dikenal dengan harta tetap itu sendiri merupakan kebalikan dari aset lancar tadi. Ia merupakan sekelompok harta yang relatif lebih sulit untuk dicairkan akibat sifatnya yang cenderung lebih berharga (mahal) dibandingkan aset lancar.
Adapun harta yang masuk kategori aset tetap itu antara lain: peralatan, kendaraan, gedung, tanah, dan lain sebagainya.
Biasanya, untuk kelompok harta tetap ini karena ia diasumsikan mengalami kerusakan atau aus akibat pemakaian, maka nilainya pun dianggap semakin turun dari tahun ke tahun. Sehingga ia pun dihitung dengan menggunakan metode penyusutan nilai atau depresiasi. Kecuali untuk aset tanah yang nilainya cenderung meningkat dari waktu ke waktu.
Berdasarkan gambaran tadi, kita pun kiranya menjadi lebih paham bahwa tanah itu merupakan kelompok harta tetap yang sifatnya tak likuid atau tidak mudah dicairkan seperti halnya uang.
Akan tetapi, di balik keadaannya yang kurang likuid itu, ternyata ia menyimpan nilai intrinsik yang sangat berharga. Sebagai buktinya, aset tanah tersebut akan tampak nyata nilainya ketika ia telah dijadikan jaminan (agunan) pinjaman pada bank, atau ketika ia hendak dijual.
Sebagai contoh konkritnya, ya, seperti halnya fenomena yang baru saja terjadi pada warga Desa Sumurgeneng Tuban itu. Dengan demikian, sebenarnya warga desa itu telah memiliki kekayaan berbentuk aset tetap, yakni tanah tadi.Â
Dimana baik disadari atau tidak, hal itu sebetulnya merupakan kekayaan tersembunyi yang pernah mereka miliki sebelum mereka jual pada pihak Pertamina.
Dan selain itu, tinggi rendahnya nilai tanah tersebut antara lain juga ditentukan oleh seberapa strategis lokasi tanah tersebut, selain juga ditentukan oleh siapa atau pihak mana yang akan membelinya.
Dan pada realitas ini, pihak pembeli tanah itu adalah PT Pertamina yang bekerja sama dengan Rosneft, salah satu perusahaan asal Rusia. Dan sama-sama kita tahu bahwa pada umumnya perusahaan ber-plat merah itu untuk perihal kesepakatan harga secara relatif bukanlah hal yang memiliki kendala cukup berarti.
Masih segar dalam ingatan penulis, sekitar lima tahun lalu, di daerah penulis sendiri juga terdapat kasus yang hampir serupa. Dimana pada waktu itu ada pihak Pertamina yang hendak membeli beberapa petak sawah milik warga untuk area SPBU.
Waktu itu, harga pasaran tanah di daerah tersebut masih sekitar 8 juta per Ru (14 m2). Akan tetapi, pihak Pertamina waktu itu ternyata sanggup membayar hingga harga Rp 15 juta sebagai tebusan untuk setiap Ru tanah tersebut.
Tentu saja, dengan harga yang hampir dua kali lipat dari harga pasaran ini menjadi tawaran yang menggiurkan bagi si pemilik sawah sekaligus pemilik lahan yang berlokasi di sekitarnya.
Oleh sebab itulah, tidak mengherankan jika kemudian para pemilik sawah yang lokasinya berdekatan itu pun ikut menawarkan aset mereka pada pihak Pertamina agar mendapat kompensasi yang serupa. Dan tentu saja, tawaran itu tak dihiraukan sebab tak masuk rencana usaha.
Kembali lagi ke bahasan warga Desa Sumurgeneng tadi. Jika kita melihat fenomena masyarakat yang begitu mudahnya membelanjakan kembali "harta runtuhan" itu, sebenarnya penulis sendiri merasa ngeri-ngeri sedap.
Penulis merasa sedap sebab ikut bergembira melihat keadaan mereka yang memperoleh gelimang harta yang dapat segera mereka gunakan. Misalnya saja, untuk membeli barang yang kategorinya sangat mewah untuk sebagian kalangan ini.
Akan tetapi, perasaan ngeri juga terlintas dalam angan penulis. Kengerian ini timbul ketika penulis membayangkan bahwa faktor pendorong mereka berbelanja barang mewah itu adalah karena euforia atau latah, sebab ikut-ikutan saudara-tetangga.
Berbelanja barang dengan motif ikut-ikutan itu jelas akan menimbulkan dampak yang kurang bahkan tidak baik pada kondisi finansial mereka. Sebab, setiap keluarga pastinya memiliki latar belakang perekonomian yang berbeda.
Bisa jadi, mereka yang begitu mudahnya berbelanja barang mewah itu dilatarbelakangi oleh karena mereka memiliki aset lain yang masih dapat diandalkan. Entah itu berupa tanah yang berada di lokasi yang lain atau berupa penghasilan yang nilainya lumayan.
Namun sebaliknya, jika yang mereka jadikan andalan untuk belanja barang mewah itu ternyata adalah bersumber dari satu-satunya aset tanah yang telah mereka jual pada pihak Pertamina, tentu ini merupakan sebuah indikasi kecerobohan yang dapat berujung penyesalan.
Sebab sudah pasti, nilai barang mewah (kendaraan) mereka, sebagaimana yang sudah penulis singgung di atas tadi, nilainya akan mengalami penyusutan (depresiasi) seiring berjalannya waktu.
Oleh sebab itulah, begitu pentingnya edukasi finansial bagi masyarakat tersebut agar mereka dapat mengelola harta atau aset tersebut secara bijak. Misalnya saja, pendayaannya untuk modal usaha maupun mengalihkannya ke aset tanah yang berlokasi di wilayah lain, atau istilah familiarnya biasa kita kenal dengan tukar guling.
Dengan mengalihkan aset mereka untuk sektor produktif tersebut, kiranya mereka akan terhindar dari bahaya kemubaziran dan potensi kemiskinan yang bersumber dari perilaku konsumtif mereka sendiri yang ujung pangkalnya adalah penyesalan di kemudian hari.
Selain itu, sepatutnya mereka juga tahu bahwa sebenarnya aset yang mereka miliki saat ini sejatinya merupakan harta yang dapat diwariskan hingga ke anak cucu nanti. Bukankah meninggalkan mereka dalam keadaan yang berkecukupan itu lebih baik daripada harus meninggalkan mereka dalam keadaan yang serba kekurangan.
Dan untunglah, aksi beli mobil beramai-ramai ini tak serta merta dilakukan oleh seluruh warga Desa Sumurgeneng itu. Dilansir dari warta Kompas (19/2/2021), sebut saja mas Tain (38), warga yang satu itu rupanya lebih memilih mengalokasikan asetnya untuk membeli tanah, membangun rumah, merintis usaha dan sisanya lagi sebagai tabungan.
Saya kira mas Tain inilah diantara potret warga yang cermat dalam mengalokasikan asetnya untuk memulihkan dan memperbaiki perekonomian keluarga, setelah hunian dan usahanya harus berpindah akibat proyek kilang minyak Pertamina.
Dan sebagai penutup, sekali lagi, tulisan ini hanyalah pandangan dan saran dari penulis belaka, yang boleh diterima atau diabaikan begitu saja oleh siapa saja yang membacanya.
Akan tetapi, alangkah lebih bijak jika kita dapat berpikir secara cermat dan berpandangan jauh ke depan agar tidak terseret pada pola konsumsi yang sifatnya ikut-ikutan. Kecuali, jika Anda adalah seorang anak sultan yang senantiasa terjamin hidupnya. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H