Beberapa waktu yang lalu, saat saya berkunjung ke rumah orang tua saya, saya bercakap-cakap dengan salah seorang tetangga. Kepada saya ia menuturkan:
"Huruf kuwi urup. Lek pancen tulisane kuwi asale teko ati mestine yo bakal teko neng njero atine wong seng moco."
Yang kurang lebih artinya adalah, "Huruf itu hidup. Jika memang tulisan itu sumbernya adalah berasal dari relung hati yang terdalam dari orang yang menuliskannya, niscaya ia pun akan sampai di hati orang yang membacanya."
Saya merenungi dalam-dalam tutur kata lelaki paruh baya ini. Saya mencoba menelusuri latar belakangnya yang gemar menyelami ilmu tasawuf atau filsafat agama Islam.Â
"Silakan Kamu lihat karya-karya 'ulama zaman dahulu itu. Begitu dalam pesan-pesan yang mereka sampaikan melalui lembar tulisan sehingga masih terus bisa kita baca dan kita gunakan hingga masa sekarang." tutur lelaki berjenggot tebal ini beberapa saat kemudian sambil menyulut sebatang rokok.Â
"Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi tanpa pertolongan dari Tuhan sehingga mereka memiliki ketulusan maupun hikmah-hikmah kata yang pada akhirnya dapat kita kaji di masa sekarang." sambungnya.Â
Saya mencoba mencerna dalam-dalam penjelasan dari sosok berambut gondrong yang sudah tersemir uban ini sembari mendaftar nama-nama 'ulama klasik yang karya-karyanya melegenda dan terekam dalam tempurung kepala saya.
Saya setidaknya membayangkan filsuf agung seperti: Imam Al-Ghazali, ibnu Sina, ibnu Rusyd, ibnu 'Arabi, dan beberapa nama lain yang karyanya berkelebat di dalam pikiran.Â
Saya seakan menampung setiap tutur kata beliau dan tak ada keinginan sedikit pun untuk mendebatnya. Sebab saya sudah terlanjur asyik masyuk mencerna penjelasan dari sosok yang kaya dengan pengalaman spiritual itu.
Beberapa saat kemudian, usai percakapan saya dengan pria itu, pikiran saya seakan tetap terfokus pada kata ruh dalam bahasannya itu. Seakan tuturnya itu menggelanyutkan beberapa tanya dalam benak saya:
- Benarkah setiap tulisan itu memiliki ruh? Atau jangan-jangan ini hanyalah sebatas makna kiasan atau majazi?
- Jika memang kata ini hanya kiasan, bagaimanakah kiranya cara membentuk tulisan yang seakan memiliki ruh sehingga memiliki kesan yang mendalam di hati para pembacanya?
Terus terang pertanyaan seperti itu tetap saja menggelanyuti benak saya dan semakin memancing rasa penasaran saya untuk dapat mencapai tulisan yang memiliki ruh itu.Â
Dari beberapa tulisan yang pernah diagih oleh beberapa penulis sebelumnya, saya pun kemudian mendapati beberapa jawaban yang barangkali bisa lebih menenangkan rasa penasaran saya itu. Misalnya saja adalah pernyataan tentang:
- Menulis itu harus tegas, tedas dan tandas.Â
- Menulis dengan cara 3R: riset, rasa dan rocet.Â
- Menulis itu untuk menghibur diri.
- Dalam proses menulis itu sebenarnya kita tinggal perhatikan bagian awal dan akhirnya saja. Perkara bagian tengah-tengahnya itu adalah jatah kreativitas dan naluri seni kita untuk mengeleborasinya.
- Menulislah untuk hal-hal yang penting dan janganlah berprinsip yang penting nulis.
- Bagaimana jika kita mengalami kebuntuan saat hendak menuangkan gagasan ke dalam tulisan?Â
Dengan adanya beberapa motivasi menulis semacam inilah, gairah saya untuk menulis pun seakan meluap-luap.Â
Tentu saja, sambil membaca motivasi dari para penulis itu saya juga menyimak karya-karya mereka yang ternyata demikian indah luar biasa. Dan karya-karya mereka inilah yang kemudian saya pinjam bangunan maupun kerangkanya untuk saya kemas kembali dalam tulisan yang berbeda.Â
Sesekali saya pernah meminta izin kepada salah seorang di antara mereka untuk meminjam ilmunya, meski saya benar-benar tahu dan yakin bahwa mereka tak hanya akan meminjamkannya namun juga akan memberikannya secara cuma-cuma.Â
Namun, entah kenapa, terkadang ada perihal yang mengganjal di dalam hati ini manakala tak berinteraksi langsung dengan si penyalur ilmu itu sementara mereka sudah sangat tulus ketika membagi cakrawala pengetahuannya.Â
Dan berbekal ilmu-ilmu yang telah mereka bagi itulah maka saya pun mencoba mencicipi dan menuangkannya dalam karya-karya saya sendiri. Perkara enak atau kurang sedap rasanya, tentu saja saya akan mengembalikannya kepada pembaca sambil terus berusaha menambali lubang yang menganga dalam tiap celah tulisan-tulisan saya.
Namun, setidaknya dari beberapa pengalaman dan ilmu yang saya peroleh dari mereka itu, setidaknya ada dua hal penting yang saya simpulkan sebagai faktor pembuat tulisan menjadi lebih hidup, yakni nilai manfaat yang terkandung di dalamnya serta cara mereka dalam menyampaikannya. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H