Mohon tunggu...
Muhammad Adib Mawardi
Muhammad Adib Mawardi Mohon Tunggu... Lainnya - Sinau Urip. Nguripi Sinau.

Profesiku adalah apa yang dapat kukerjakan saat ini. 😊

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pengabdian, Ketulusan dan Kebahagiaan

11 Januari 2021   15:05 Diperbarui: 11 Januari 2021   16:06 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi ini, saat saya membuka Kompasiana, saya mendapat notifikasi yang berisi sebuah tanggapan sekaligus pertanyaan penegas atas tulisan saya kemarin (10/1) yang bertajuk Relativitas dan Keadilan.

Singkatnya, dalam kolom komentar tersebut, tamu yang belakangan saya kenal bernama Mas Fadhil ini mencoba membandingkan relativitas kebahagiaan yang dimiliki oleh seseorang. 

Entah secara kebetulan atau tidak, dalam tulisan komentar itu yang ia bandingkan adalah kondisi kebahagiaan relatif yang dimiliki oleh para guru dengan kebahagiaan pihak lain yang usahanya meminta-minta atau membentuk sistem kerja tertentu yang belum tentu bermanfaat dan diharapkan oleh orang lain.

Dan tanggapan saya atas pernyataan sekaligus pertanyaan tersebut hanyalah sebuah kemungkinan. Probabilitas kebahagiaan yang dimiliki oleh seseorang ditentukan oleh cara pandang dan sikapnya sendiri terhadap kehidupan.

Jawaban saya itu mungkin terlalu pendek atau bahkan terkesan sangat bias untuk sebuah pertanyaan yang menghendaki tanggapan yang cukup panjang, sehingga muncullah inisiatif pada diri saya untuk sedikit mengurai jawaban saya tadi pada tulisan ini. 

Sebelumnya, saya tak tahu persis apakah pertanyaan itu murni merupakan sebuah pertanyaan atau hanya sebuah upaya untuk nge-tes saya untuk menggali lebih dalam mengenai cara pandang saya atas kehidupan, relativitas dan keadilan, seturut tulisan yang telah saya bagi. 

Dan apapun motif atas tanggapan dan pertanyaan tersebut, saya tetap akan mencoba menjawab sesuai dengan kapasitas pemahaman saya sebagai penulis kelas kecik. 

Baiklah, langsung saja. Jika kita memandang kebahagiaan seseorang dari aspek materi saja, maka kemungkinan besar yang akan kita temui adalah kekurangan di sana sini. Sebab seberapapun banyaknya materi yang dimiliki oleh manusia, maka ia bisa saja menjadi tidak bernilai jika dibanding dengan ragam keinginan mereka yang meluap-luap dan tak terbendung. 

Oleh sebab itulah, maka kitapun dianjurkan untuk menyikapi materi itu dengan cara yang adil. Adil dalam menerimanya dengan penuh rasa terima kasih kepada pihak yang telah memberinya. Adil dalam menggunakannya. Adil dalam menyikapinya dengan penuh kesabaran manakala nilainya dianggap masih kurang untuk memenuhi kebutuhan. Dan lain sebagainya. 

Dan tentu saja, upaya untuk mewujudkan hal-hal di atas jelas tak semudah menulis ataupun mengatakannya. 

Baiklah, marilah kita mulai masuk pada gambar keadaan yang mungkin terjadi di sekeliling kita. 

Jika memandang secara sekilas, seorang guru yang gajinya hanya 500 ribu rupiah sebulan atau bahkan kurang dari itu bisa saja kita akan mengatakannya sebagai jumlah yang mustahil untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.  

Namun, selain memiliki anggapan itu, kita sepatutnya juga menyadari bahwa pintu rezeki seorang guru tak hanya selalu ia peroleh dari kegiatan mengajar belaka. Bisa saja di sela-sela kesibukannya mengajar itu ia memiliki usaha lain yang penghasilannya lumayan untuk membantu mencukupi kebutuhan.

Meski kita juga tak bisa menafikan beberapa fakta yang tampak di permukaan bahwa gaji maupun kondisi kesejahteraan mereka memang tampak relatif miris jika dibanding banyak hal yang telah dikorbankan. 

Bagi sebagian orang, kondisi pendapatan yang serba terbatas bisa saja mereka olah menjadi pelecut semangat untuk mencoba usaha lainnya, sehingga mereka tak tampak sekali pun mengeluh dan apalagi menyalahkan keadaan diri sendiri maupun lingkungan. 

Untuk kasus ini, saya memiliki seorang teman bernama Mujib yang juga seorang guru yang nyambi berwirausaha. Teman saya ini biasa menyiasati kehidupannya sehari-hari dengan pola mengajar, mengabdi, dan berbisnis. 

Pada saat sebelum musim pandemi kemarin, pagi hingga siang hari ia alokasikan waktunya untuk mengajar di sekolah. Sementara sore harinya, selepas mengajar dan beristirahat, ia biasa menjajakan sempol di halaman rumah familinya. 

Jika saya melihat pola kehidupan teman saya ini, saya menilai sepertinya ia memang bertujuan mengajar dengan niat yang murni untuk mengabdi, sehingga tidaklah tampak dalam pengetahuan saya percabangan keinginan pada dirinya untuk membisniskan pengabdian itu. 

Tak tampak sedikitpun kesan pada dirinya hasrat untuk mengabdi tapi sejatinya mencari keuntungan. Atau membisniskan pengabdian untuk hal-hal yang sifatnya materi. 

Tidak pula saya melihat mimik muka pada dirinya yang tampak memelas seakan minta dibelaskasihani di tengah terbatasnya balas jasa yang ia peroleh. Dan justru sebaliknya, yang saya dapati dari dirinya adalah wajah yang tegar penuh rasa optimisme dalam menghadapi kehidupan.

Latihan atau riyadhah kesabaran yang senantiasa ia lakukan seakan mulai menampakkan buahnya dalam wujud karakter dan kesadaran sikap pada dirinya dalam menyiasati kehidupan. Oleh sebab itulah, saya pun menjadi teringat kembali akan sebuah pesan bijak bestari bahwa faktor kebiasaan konon memang begitu ampuh untuk membentuk karakter maupun kemampuan seseorang.

Mereka yang rajin berlatih ketegaran dalam menghadapi ujian hidup maka ia pun akan memiliki kumpulan ketegaran karang dalam menghalau ombak kehidupan. Dan demikian pula sebaliknya, mereka yang menyengaja memanfaatkan topeng derita untuk mendulang belas kasih dari orang lain, bisa jadi yang akan ia peroleh adalah kelemahan itu sendiri. 

Telah jamak kita temui, mereka yang acapkali memanfaatkan belas kasih orang lain dengan modal topeng yang rangkap, yakni menampilkan penderitaan dan memendam rasa malu maka ia pun akan memperoleh hal-hal lain yang menyertai. 

Maksud hati mungkin ingin mudah mencari materi, tapi justru mengalami penderitaan nurani. Nurani mereka harus menjerit berkali-kali lantaran harus berakting di hadapan orang lain. 

Apesnya, belakangan ia pun sadar bahwa orang lain memberinya materi bukan karena alasan faktor miskin materi, melainkan sebab miskin jiwa yang tengah ia derita. 

Oleh karena mereka selalu berpura-pura sebagai sosok yang tak mampu, maka hal ini pun menjelma menjadi kebiasaan sekaligus ketidakbisaan. Mereka yang biasa meminta belas kasih orang lain itu menjadi benar-benar tidak bisa bekerja kecuali hanya memainkan drama kehidupan untuk menarik belas kasih orang lain. 

Selanjutnya, apakah kira-kira ini yang disebut dengan kebahagiaan? (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun