Jika memandang secara sekilas, seorang guru yang gajinya hanya 500 ribu rupiah sebulan atau bahkan kurang dari itu bisa saja kita akan mengatakannya sebagai jumlah yang mustahil untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Â
Namun, selain memiliki anggapan itu, kita sepatutnya juga menyadari bahwa pintu rezeki seorang guru tak hanya selalu ia peroleh dari kegiatan mengajar belaka. Bisa saja di sela-sela kesibukannya mengajar itu ia memiliki usaha lain yang penghasilannya lumayan untuk membantu mencukupi kebutuhan.
Meski kita juga tak bisa menafikan beberapa fakta yang tampak di permukaan bahwa gaji maupun kondisi kesejahteraan mereka memang tampak relatif miris jika dibanding banyak hal yang telah dikorbankan.Â
Bagi sebagian orang, kondisi pendapatan yang serba terbatas bisa saja mereka olah menjadi pelecut semangat untuk mencoba usaha lainnya, sehingga mereka tak tampak sekali pun mengeluh dan apalagi menyalahkan keadaan diri sendiri maupun lingkungan.Â
Untuk kasus ini, saya memiliki seorang teman bernama Mujib yang juga seorang guru yang nyambi berwirausaha. Teman saya ini biasa menyiasati kehidupannya sehari-hari dengan pola mengajar, mengabdi, dan berbisnis.Â
Pada saat sebelum musim pandemi kemarin, pagi hingga siang hari ia alokasikan waktunya untuk mengajar di sekolah. Sementara sore harinya, selepas mengajar dan beristirahat, ia biasa menjajakan sempol di halaman rumah familinya.Â
Jika saya melihat pola kehidupan teman saya ini, saya menilai sepertinya ia memang bertujuan mengajar dengan niat yang murni untuk mengabdi, sehingga tidaklah tampak dalam pengetahuan saya percabangan keinginan pada dirinya untuk membisniskan pengabdian itu.Â
Tak tampak sedikitpun kesan pada dirinya hasrat untuk mengabdi tapi sejatinya mencari keuntungan. Atau membisniskan pengabdian untuk hal-hal yang sifatnya materi.Â
Tidak pula saya melihat mimik muka pada dirinya yang tampak memelas seakan minta dibelaskasihani di tengah terbatasnya balas jasa yang ia peroleh. Dan justru sebaliknya, yang saya dapati dari dirinya adalah wajah yang tegar penuh rasa optimisme dalam menghadapi kehidupan.
Latihan atau riyadhah kesabaran yang senantiasa ia lakukan seakan mulai menampakkan buahnya dalam wujud karakter dan kesadaran sikap pada dirinya dalam menyiasati kehidupan. Oleh sebab itulah, saya pun menjadi teringat kembali akan sebuah pesan bijak bestari bahwa faktor kebiasaan konon memang begitu ampuh untuk membentuk karakter maupun kemampuan seseorang.
Mereka yang rajin berlatih ketegaran dalam menghadapi ujian hidup maka ia pun akan memiliki kumpulan ketegaran karang dalam menghalau ombak kehidupan. Dan demikian pula sebaliknya, mereka yang menyengaja memanfaatkan topeng derita untuk mendulang belas kasih dari orang lain, bisa jadi yang akan ia peroleh adalah kelemahan itu sendiri.Â