Babon. Lantaran untuk yang ketiga kalinya, ia bertelur. Tidak tanggung-tanggung, jumlah telur yang telah ia keluarkan kali ini berjumlah 10 butir.Â
Pagi ini merupakan saat yang begitu menggembirakan bagi siJumlah ini merupakan pencapaian baru dalam hidupnya, setelah periode sebelumnya ia mampu meneteskan sebanyak 8 ekor anak ayam.
Begitu riangnya perasaan si Babon dengan keadaan ini, sehingga ia pun lekas mengumumkan kabar gembira itu pada seluruh penghuni kandang.
Lazimnya kebiasaan yang dilakukan oleh seekor ayam, tak perlu ia mendatangi kediaman mereka satu persatu, tapi cukuplah ia berteriak sekencang-kencangnya pada mereka.
"Syukurlah, aku berteluuur." teriaknya dengan volume suara terlantang sehingga riuh suara itu juga ikut terdengar oleh si pemiliknya.
Petok petok petok. Begitulah suara berisik yang terdengar dari telinganya.
Sang pemilik pun segera mendatangi kandang ayamnya untuk memeriksa keadaan mereka satu persatu. Ia menghampiri si Babon dengan penuh rasa penasaran. Ia memandang lekat-lekat keadaannya usai si Babon menetaskan seluruh telurnya.
Tampak senyum kebahagiaan yang merekah di wajah si pemilik ayam. Senyuman yang seakan menitip sebongkah harapan di baliknya.
***
Selama beberapa hari si Babon mengerami kesepuluh telurnya dahulu, ia telah melakukannya dengan penuh perhatian. Tak pernah sekalipun ia meninggalkan mereka, kecuali hanya untuk keperluan makan.
Tepat pada hari ke-21 sejak pengeraman pertamanya itu, seakan ada hal aneh yang ia temui saat mengerami telurnya itu. Ia merasa seakan ada makhluk yang mematuk dengan lembut dari bawah tubuhnya. Dan patukan-patukan itupun semakin kuat bak makhluk yang hendak mendobrak penjara kehidupannya.
Krak, krak, krak.
Secara perlahan, cangkang itupun retak satu persatu. Tampak dari pengamatannya paruh-paruh mungil yang hendak menerobos kulit telur itu. Melihat kejadian ajaib ini, hati si Babon sumringah bukan kepalang. Sebab untuk ketiga kalinya ia akan menjadi induk ayam.
Begitu semua anaknya itu telah lepas dari cangkang, si Babon segera mengajak mereka menuju ke tegal, tempat dimana ia bersama kawan-kawannya yang lain biasa mengais kehidupan, selain mengandalkan jatah tetap dari sang pemilik.
Tak lupa, ia kenalkan satu persatu anaknya itu kepada seluruh penghuni kandang yang tengah nyeker (mengais tanah) dan rebahan di sana.
Hari-hari terakhir sejak menetasnya si piyik (anak ayam) itu, entah kenapa, perasaan si Babon selalu saja menjadi lebih gampang marah. Emosinya selalu saja meledak-ledak begitu mendapati perihal yang ia anggap akan mengancam keselamatan anak-anaknya.
Tidak segan-segan ia akan bersabung nyawa dengan betina yang lain hingga para ayam jago sekalipun, jika sudah menyangkut keamanan anaknya.
Hingga pada akhirnya, seekor babon paruh baya, yakni induknya sendiri--nenek dari ayam-ayam kecil--itu menasehati, bahwa sebaiknya ia lekas mendamaikan sikapnya itu, mengingat anak-anaknya sudah semakin remaja dan sudah hampir tiba bagi mereka untuk hidup secara mandiri.
Setelah genap 65 hari ia mendampingi, merawat dan mengajari para anaknya itu seni untuk menggeluti kehidupan, tibalah saat baginya untuk memandirikan mereka.
Dengan sekuat hati si Babon melepas mereka dengan hembusan harapan agar mereka kelak akan tumbuh menjadi ayam berdikari yang bermanfaat bagi bumi pertiwi. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H