Kawan, sewaktu saya masih kecil dulu, saya seringkali menjumpai orangtua yang menasihati anak maupun cucunya untuk menghabiskan makanan. Nasihat yang biasa mereka sampaikan kurang lebih seperti ini:
Le, lek mu mangan agi dientekne. Ojo sampek ora entek, ben pitike engko ora mati (Nak, kalau kamu makan, ayo dihabiskan. Jangan sampai tidak habis, agar ayamnya nanti tidak mati).
Begitulah nasihat yang berulangkali mereka sampaikan. Rupanya, nasihat itu cukup ampuh mendorong kami untuk menghabiskan makanan yang kami santap, lantaran latar belakang penduduk di desa kami rata-rata adalah pemelihara ayam kampung.
Saat menerima nasihat ini, tergambar dalam imajinasi kami bahwa ayam-ayam kami itu akan mati, sebab perutnya meletus akibat terlalu kenyang mengonsumsi sisa makanan dari kami.
Pada saat umur kami sudah semakin matang, pandangan kami atas nasihat orangtua kami itu menjadi terkesan aneh. Sebab kini yang terpatri dalam angan-angan kami adalah pandangan yang sebaliknya, yakni mana mungkin ada ayam yang mati karena kekenyangan, yang ada adalah ia binasa sebab kelaparan.
Selain nasihat tadi, ada lagi petuah-petuah lain dari para orang tua yang mungkin juga sulit diterima oleh nalar rasional kami, misalnya sisa-sisa makanan yang tidak kami makan itu akan menangis sejadi-jadinya sebab mereka juga ingin masuk ke dalam perut kami bersama dengan kawan-kawannya yang lain.
Namun, menurut pengalaman pribadi saya pada saat duduk di bangku kelas 6 Madrasah Ibtidaiyah, saya pernah memperoleh sebuah nasihat yang sangat membekas di hati saya mengenai makan dan makanan ini dari seorang guru mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial kami, yakni Bapak Fatchuddin.
Pada waktu itu, beliau memberi pandangan yang saya kira sangat menarik dan mencerahkan berkaitan dengan etika mengonsumsi makanan ini. Demikianlah kurang lebih isi pesan beliau pada waktu itu:
"Kalau makan (makanan) itu sebaiknya sampai habis tak bersisa, sebab kita tak pernah tahu, dari sisi makanan yang bagian mana keberkahan itu akan datang menghampiri kita. Bukankah selama ini kita senantiasa mengharap keberkahan dari rezeki yang dianugerahkan pada diri kita, khususnya melalui doa yang kita panjatkan sebelum kita makan?"
Menurut saya, nasihat beliau itu sungguh makjleb alias begitu merasuk dalam sanubari saya. Dan sejak saat itulah, saya selalu berusaha untuk tidak menyisakan sebutir pun nasi atau makanan pada piring saya. Sebab sebagaimana wejangan dari guru saya tadi, saya selalu mendamba keberkahan dari apa yang saya konsumsi.
Baiklah, berawal dari pengantar tadi, selanjutnya saya ingin sedikit berbagi kiat sederhana mengenai cara mengolah dan mengonsumsi makanan, supaya kita bisa terhindar dari perilaku yang mubazir.
Pertama, Tentukan porsi masakan
Pada umumnya, bagi siapa saja yang sudah berkeluarga memiliki rutinitas untuk memasak masakan setiap hari. Dalam hal ini, kita sebaiknya mampu menakar seberapa banyak nasi, sayuran, maupun lauk yang akan dimakan dalam sehari. Hal ini penting untuk dilakukan agar kita hanya memasak makanan sesuai dengan kebutuhan saja.
Selain itu, kita sepatutnya juga mampu memperkirakan, apakah sisa makanan itu masih dapat diolah kembali untuk konsumsi esok hari, atau ia sudah harus dihabiskan dalam sehari ini. Dengan demikian, kita akan sanggup mengupayakan apa yang seharusnya kita lakukan dengan makanan yang telah kita sajikan pada hari ini, manakala tak habis saat dikonsumsi.
Kedua, Tentukan porsi takaran makanan sesuai kemampuan
Untuk menghindari makanan yang mubazir alias terbuang percuma, kita dapat mengupayakan mengonsumsi makanan dengan cara tidak berlebih-lebihan. Caranya adalah dengan mengambil porsi makanan bukan atas pertimbangan suka atau tidak suka dengan menu yang akan kita santap, akan tetapi lebih pada seberapa mampu perut kita itu nanti untuk menampungnya.
Dengan cara yang demikian, kita dapat menggunakan sebuah acuan yang sederhana, yakni dengan cara makan tidak sampai kenyang. Cara ini dapat kita lakukan sekaligus untuk mempraktikkan sebuah pesan bijak mengenai tata cara makan, yakni makan ketika lapar dan berhenti makan sebelum kenyang.
Oleh sebab itu, sebelum makan, kita sebaiknya tahu terlebih dahulu, seberapa banyakkah porsi yang sekiranya akan mengenyangkan kita, barulah kemudian kita menguranginya agar perut kita tidak sampai kekenyangan yang akibatnya adalah akan membuang sisa makanan tadi.
Ketiga, Berbagi dengan yang lain
Untuk cara yang ketiga ini, sebenarnya saya memiliki dua alternatif. Yakni, membagi makanan dan memberi sisa makanan.
Sebentar, sebentar. Sisa makanan? Apakah Anda tidak salah tulis atau jangan-jangan saya yang salah baca?
Ya. Itu sudah benar. Saya tidak sedang salah tulis, begitu pula Anda, tidak salah baca. Silakan lanjut dulu bacaan ini.
Untuk kemungkinan pertama makanan yang akan dibagi ini, bisa digunakan untuk kasus tertentu, misalnya kita memasak terlalu banyak, atau kita memperoleh kiriman makanan dari arah yang tak disangka-sangka orang lain.
Seperti halnya tradisi di masyarakat kita, khususnya yang tinggal di daerah pedesaan, biasanya sangat kental dengan selamatan. Kita acapkali mendapati mereka saling berkirim makanan dari dan untuk pihak lain. Entah itu di lingkungan tetangga, famili, atau teman mereka.
Nah, pada saat mendapat rezeki makanan yang berlebih itulah, manakala kita yakin takkan sanggup untuk menghabiskannya, maka kita bisa membagikannya pada pihak lain, khususnya bagi mereka yang membutuhkan makanan.
Selanjutnya, untuk kemungkinan yang kedua dari upaya memberi sisa makanan yang saya maksud tadi adalah, ya, dengan memberikan sisa-sisa makanan yang tidak mungkin akan kita makan. Misalnya sisa-sisa sayuran yang tidak ikut kita masak, atau sisa makanan yang tidak mungkin untuk kita makan, kita berikan saja itu semua pada makhluk yang lain, yakni hewan yang ada di sekeliling kita.
Gambaran sederhananya, untuk mempraktikkan cara ini, saya telah memiliki piaraan seekor kelinci di rumah. Kelinci itulah yang biasanya akan memakan sisa wortel, sawi, atau bayam yang tidak ikut dimasak.
Namun, selain itu, tentu saja saya juga menyediakan makanan pendamping lain, yakni mentimun untuk mencukupi kebutuhan minumnya agar ia tidak sampai dehidrasi. Saya memilih menggunakan mentimun sebab selain harganya cukup terjangkau, sayuran ini juga memiliki kandungan air yang cukup melimpah di dalamnya.
Dan selain itu, akhir-akhir ini rumah saya juga selalu didatangi oleh seekor kucing jantan berwarna merah. Yang jelas, kucing berekor panjang itu bukanlah si siluman kucing, meski rupa keduanya sangatlah mirip.
Jika kucing itu sudah datang ke rumah dan mengeong meminta makanan, biasanya saya mencarikan sisa pindang atau kepala ikan lele goreng yang kemudian saya campur dengan nasi.
Dengan senang hati saya memberi kucing itu makanan, sebab tak mungkin juga saya akan melahap kepala ikan lele itu. Barangkali itulah jatah makanan untuk Si Miaw, daripada ia terbuang sia-sia di tempat sampah.
Keempat, Mengolah sisa makanan
Menurut tradisi di daerah saya, biasanya sisa-sisa nasi yang tak mungkin untuk dimakan, ia akan dijemur hingga kering untuk dijadikan karak. Karak inilah jika jumlahnya sudah terkumpul cukup banyak, ia dapat dijual di pasar. Lumayanlah, kita masih bisa mendapatkan uang dari sisa-sisa nasi yang mungkin akan basi, berjamur dan tak bernilai, jika tidak diolah dan dibiarkan begitu saja.
Selain itu, kadang-kadang jika mood keluarga kami sedang on fire, biasanya kami juga mengolah sisa nasi itu menjadi kerupuk beras. Syukurlah, dari sisa nasi ternyata bisa menjadi camilan yang sehat dan bergizi untuk menemani momen bercengkerama bersama keluarga.
Demikianlah kiranya yang dapat saya ceritakan mengenai cara yang biasa kami praktikkan untuk mengolah makanan agar ia tidak sampai terbuang percuma. Barangkali pembaca juga memiliki pengalaman lain untuk mengolah dan mengonsumsi makanan ini agar tidak sampai mubazir, silakan diceritakan di sini! (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H