Suatu ketika, Dul Kaher bercengkerama dengan seseorang yang seringkali membangga-banggakan kesuksesannya dalam berbisnis. Dengan penuh antusias ia bercerita, dalam sehari ia mampu meraup sekian juta. Dalam sebulan mengumpulkan sekian miliar. Bisa membeli ini itu, dan seterusnya.
Namun, seringkali hal yang luput dari ceritanya itu adalah tentang nilai gaji yang telah ia bayarkan untuk para pekerjanya.Â
Setelah Dul Kaher memancing pertanyaan yang menjurus ke arah sana, maka orang inipun berdalih bahwa tujuan gaji yang minim itu sebenarnya adalah untuk efisiensi biaya agar masih ada sisa pendapatan yang terkumpul.Â
Mendengar alasan yang demikian, mendadak cerita kesuksesan darinya itu terasa sangat hambar dalam benak Dul Kaher. Ia sangat sulit menerima dengan alasannya menumpuk harta untuk kepentingan sendiri sementara kurang peduli dengan kesejahteraan orang lain.
Seperti tak tahu tentang bagaimana sebenarnya suasana hati Dul Kaher, orang itu tampak semakin antusias bercerita tentang caranya merebut pelanggan, memenangkan persaingan dalam pasar, tanpa membabar sedikit pun bagaimana kelanjutan nasib pedagang yang telah ia rebut pelanggannya itu.Â
Begitulah persaingan usaha. Mungkin saja itulah yang menjadi pembenar atas strateginya ini. Lagipula mengapa harus memperhatikan nasib orang lain, jika mereka juga belum tentu memperhatikan nasib usaha kita. Begitulah kiranya yang ada di dalam angan-angan orang itu.Â
Batin Dul Kaher memberontak penuh tanya, apakah bisnis haruslah selalu berbentuk persaingan yang kental dengan aroma saling mengalahkan dan bahkan menghilangkan keberadaan usaha yang lain?
Ia menganggap bisnis tidaklah selalu sampai sedemikian. Seseorang bisa saja mengungguli usaha orang lain, akan tetapi belum tentu hal itu lantas akan melenyapkan usaha mereka.Â
Telah banyak contoh di sekelilingnya, usaha yang tampak sepi dari pelanggan namun ia mampu bertahan hingga bertahun-tahun di tengah derasnya persaingan.Â
Pun sebaliknya, usaha yang tampak selalu ramai dikunjungi pelanggan beberapa waktu kemudian mendadak sepi bahkan tutup dengan alasan yang tak disangka-sangka.Â
Dul Kaher menganggap ini adalah bagian dari misteri rezeki manusia yang sifatnya terjatah dari Tuhan dan terkadang datang dari arah yang tak terperhitungkan.
Boleh dan bahkan sangat baik bagi seseorang merencanakan menjadi yang terbaik pada saat ia berusaha. Namun sepatutnya ia tidak boleh melupakan dengan nasib siapa saja yang telah membantu kesuksesannya dalam berusaha itu. Bagaimana perkembangan nasib kesejahteraan mereka setelah mengorbankan waktu dan tenaga mereka demi ikut mengembangkan usahanya selama ini.Â
Selain itu, alangkah baiknya seseorang memperhatikan dengan sungguh-sungguh tentang kebaikan transaksi yang dilaksanakan dalam kegiatan jual beli. Bagaimana caranya menyampaikan informasi tentang kondisi barang yang jujur apa adanya kepada pelanggan. Menakar timbangan dengan akurasi yang setepat-tepatnya. Sebab itu semua adalah bagian dari latihan sikap adil seseorang dalam berdagang.Â
Jika seseorang sudah merasa sukses dalam berbisnis, maka sepatutnya kesuksesan tidak cukup pada tataran menumpuknya pendapatan (profit oriented) saja. Akan tetapi hal itu akan menjadi semakin paripurna jika diiringi dengan meningkatnya kemakmuran pihak di sekelilingnya seiring meningkatnya perkembangan usaha itu.
Dengan demikian, maka pemilik usaha pun harus pandai-pandai meracik keuntungan sosial (social oriented) yang manfaatnya akan meluas di sekitar usahanya, tak terkecuali bagi perusahaan yang menjadi pesaingnya.
Sambil mendengar cerita dari orang yang kian bersemangat ini, Dul Kaher mengharap suatu saat nasihat macam inilah akan keluar dari paparan orang itu daripada nasihat template tentang cara meraup keuntungan bisnis yang sudah mampu dinalar oleh anak tingkat taman kanak-kanak.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H