Di tengah berkembangnya tren seputar sandal, saya masih sering mendapati masyarakat di desa saya, Desa Kalipang, Kec. Sutojayan Kab. Blitar, Jawa Timur, masih mempertahankan bakiak sebagai sandal rumahan.Â
Sandal yang juga akrab disebut terompah ini seakan telah menjadi bagian yang wajib dimiliki oleh para masyarakat di desa saya, meski sebagian orang di daerah lain kini telah beralih menggantikannya dengan sandal jepit atau sandal rumahan modern.
Bakiak bagi masyarakat desa saya begitu identik dengan sandal ibadah.
Begitu hendak berwudhu, mereka menggunakan bakiak. Ketika hendak ke ruang sholat di rumah, mushalla, atau ke masjid, mereka biasa menggunakan bakiak. Atau manakala pergi ke kamar mandi pun mereka merasa tidak nyaman jika tak beralaskan bakiak.Â
Kesan yang begitu melekat pada bakiak ini adalah untuk hal-hal berbau air dan ritual peribadatan. Selain karena hal tersebut, berikut ini daftar alasan kenapa masyarakat di desa saya masih mempertahankan bakiak sebagai bagian dari perabot rumah yang tidak boleh dihilangkan.
Satu: Harganya murah dan tahan lama
Harga bakiak tradisional polos tanpa motif di pasaran yang berada di kisaran Rp 15.000 sampai dengan Rp 20.000 menjadikannya sebanding dengan harga sandal jepit berkualitas standar.Â
Jika kita mau membelinya di online shop, ada juga bakiak yang dihargai sampai dengan seratus ribuan rupiah per pasang. Yupz, itu adalah jenis bakiaknya orang Jepang (geta). Dan dengan harga segitu, biasanya belum termasuk ongkos kirim.
Selain harganya yang relatif terjangkau itu, rata-rata bakiak yang digunakan di rumah bisa bertahan sampai dengan 2 tahun. Ini merupakan bukti bahwa meski dijual dengan harga yang murah ternyata bakiak tetap terjamin keawetannya, jika dipakai secara wajar.Â
Apakah mungkin bakiak ini dipakai secara tidak wajar? Mungkin saja. Misalnya ketika digunakan mainan oleh anak-anak.
Jangankan ia mampu bertahan selama 2 tahun, bisa dipakai selama setengah tahun saja itu mah sudah syukur. Sebab tidak jarang jika bakiak ini sudah dimainkan oleh anak-anak, selain ia mudah rusak, ia pun rentan hilang gara-gara ulah tangan 'kreatif' mereka.
Dua: Mudah didapat
Untuk hunting bakiak di daerah saya, biasanya cukup dengan mendatangi toko-toko kelontong terdekat. Sebab kebanyakan toko kelontong di sini menjual bakiak, selain ia juga menyediakan aneka kebutuhan pokok rumah tangga.Â
Selain itu, karena begitu populernya bahkan bakiak tidak hanya dapat ditemui di toko kelontong, tapi juga tersedia di toko alat-alat pertukangan. Ini menjadi bukti bahwa bakiak memang barang yang begitu mudah diperoleh di daerah kami.
Tiga: Mudah tertukar sehingga melatih ketaqwaan
Pada masyarakat di desa saya seringkali terjadi kesalahan yang entah itu disengaja atau tidak, di antara mereka ada yang mengaku bakiaknya telah tertukar dengan bakiak lainnya, pada saat sepulang shalat di surau atau pulang kondangan yasinan.Â
Dan biasanya, pihak yang tertukar bakiaknya itu dengan kerelaaan hati pada akhirnya memakai bakiak lusuh yang ada di hadapan mereka.
Setelah itu, mereka biasanya berharap barangkali orang yang telah mengambil bakiaknya itu akan terbuka hatinya setelah mengambil barang yang bukan miliknya itu, sehingga berniat untuk mengembalikannya lagi pada esok hari.
Perihal kerelaan hati pihak yang ditukar bakiaknya ini telah membuat saya menduga bahwa mereka yang kehilangan ini secara tidak langsung telah memiliki auto kesadaran untuk mendoakan orang lain supaya menjadi pribadi yang lebih baik.Â
Buah dari kebaikan doa ini adalah kembalinya bakiak mereka ke tempat semula, barangkali. Dari hal ini semakin menegaskan bahwa bakiak merupakan simbol dari perilaku taqwa yang tercermin dalam tingkah keseharian mereka yang memakainya.
Empat: Alat Pelindung Diri
Di tengah keasyikan mereka yang sedang mandi atau buang hajat, barangkali mereka akan menjumpai sesosok makhluk yang menjijikkan dan menyeramkan, seperti kecoak ataupun kelabang.Â
Jika mereka berada dalam kondisi ini dan tengah menggunakan bakiak, maka kemungkinan tidak akan lagi panik apalagi sampai berjingkat, sebab salah mendarat sedikit saja mereka bisa rawan gegar otak.Â
Secara tidak langsung, mereka yang menggunakan bakiak ini berarti telah mengenakan alat pelindung diri dari ancaman hewan itu. Sebab, manakala hewan genit itu tetap nekad hendak menyergap kaki, maka cukup dengan sekali hentakan kaki saja habislah masa singgah hewan pengganggu itu di dunia.
Lima: Keunikan yang mengajarkan kesetaraan
Bakiak tradisional yang biasanya ditemukan, umumnya terdiri dari dua jenis: jenis bakiak yang dipakai untuk laki-laki dan untuk perempuan. Lewat sandal bakiak ini pula lah terdapat pelajaran tentang kesetaraan gender. Yakni meski bentuk, ukuran, dan pemakainya berbeda, namun harga jualnya tetap sama.
Enam: Sebagai alat kesehatan
Dalam perkembangannya, bakiak juga telah dimodifikasi sebagai sandal kesehatan dengan menambahkan gerigi pada bagian permukaannya. Dengan menggunakan bakiak bergerigi ini, siapa pun akan merasakan nikmatnya sensasi pijat refleksi tanpa harus datang ke dukun urut.Â
Namun bagi yang belum terbiasa, tidak disarankan untuk menggunakan bakiak bergerigi ini apalagi untuk keperluan jalan-jalan keluar rumah. Sebab jika mereka tetap ngeyel melakukannya, harus siap diolok oleh tetangga pada saat meringis-ringis menahan geli di jalanan.
Tujuh: Praktis digunakan untuk membangunkan orang
Di beberapa pesantren tradisional, ada sebagian orang yang menggunakan suara bakiak untuk membangunkan orang yang sedang tidur. Suaranya yang cukup keras seakan cukup untuk mengganggu ketenangan siapa saja yang tengah terlelap.
Selain itu, ada juga di antara teman mereka yang berpikiran agak brutal. Jika ada yang tidak terbangun saat mendengar suaranya, maka bakiak tersebut dileparkan saja ke arah orang itu. Secara otomatis 'korban' pun akan langsung berjingkat terbangun dan bergegas menuju ke kamar mandi.
Namun, cara ini sangat tidak dianjurkan dan sebaiknya sangat dihindari, jika tidak ingin memanen sumpah serapah dari mereka yang dibangunkan.
Delapan: Menjaga tradisi keluarga
Bakiak yang seakan telah menjadi warisan tradisi keluarga sangat sulit untuk dilupakan dan dihilangkan keberadaannya bagi siapa saja. Dan khususnya bagi saya sendiri sebagai generasi milenial yang mendapati kakek, nenek, bapak, dan ibu saya yang telah menggunakan bakiak.Â
Dengan alasan ingin mengikuti tradisi mereka menggunakan bakiak ini, maka ketika sudah berkeluarga pun saya tetap ingin menggunakannya. Padahal tidak ada anjuran sama sekali dari keluarga untuk mengenakannya.Â
Entah kenapa, secara 'refleks' saya tetap ingin menjaga tradisi yang unik ini. Saya ingin terus melestarikannya dan menganggapnya sebagai bagian yang tidak boleh hilang dari kehidupan saya.Â
Mungkinkah tradisi memakai bakiak ini masih akan berlanjut hingga ke anak cucu saya dan para generasi penerus di desa saya? Biarlah waktu saja yang akan menjawabnya.
Bagi kami, bakiak merupakan bagian dari produk kearifan lokal yang patut untuk dilestarikan di tengah pesatnya perkembangan industri sandal dengan ragam modelnya.Â
Bagi masyarakat di desa saya, bakiak seakan telah menawarkan nuansa klasik yang begitu kental, kekal, dan begitu sayang untuk dibuang begitu saja. Dengan adanya keyakinan yang demikian inilah, barangkali telah menjadi alasan mengapa bakiak tetap mendapat ruang teristimewa di dalam hati mereka. [mam]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H