Penyusunan artikel ini terinspirasi oleh komentar seorang Kompasianer yang menanggapi tulisan saya yang bertajuk Tidak Semua yang Berbahasa Arab Itu Harus Diamini.Â
Dalam kolom komentar, Kompasianer tadi menyebut tulisan saya itu termasuk 'berani'. Setelah membaca komentar tersebut, saya pun merenungi lebih lanjut, dimana letak keberanian dari tulisan saya ini.Â
Dan barulah, beberapa saat kemudian, saya mulai dapat mengira sisi keberanian atas tulisan itu. Barangkali kompasianer tersebut menganggap tulisan saya itu adalah hendak ditujukan pada kelompok tertentu.Â
Jika memang demikian yang menjadi anggapannya, maka sebagai penjelas, saya sama sekali tidak menodongkan tulisan saya itu pada kelompok manapun. Pada kelompok yang garis keras, lunak, maupun lucu, misalnya.Â
Silakan bisa dibaca ulang keseluruhan isi dari tulisan saya tersebut. Kata demi kata. Kalimat demi kalimat. Paragraf demi paragraf. Tidak ada singgungan sedikit pun dari saya atas kelompok-kelompok tertentu.Â
Bahkan, jika dicermati lebih lanjut, akan nampak sekali bahwa saya menyuguhkan tulisan tersebut hanyalah untuk meluruskan pemahaman sebagian sahabat dan saudara kita yang biasa ikut jum'atan mengenai pesan yang disampaikan oleh sang khatib, khususnya yang berbahasa Arab.Â
Di sini, saya bukan bermaksud sok-sokan mendaku sebagai yang paling paham tentang bahasa Arab. Sama sekali bukan. Mengingat saya sendiri sebenarnya juga bukanlah jago apalagi pakar dalam bahasa itu.Â
Tapi, lantaran kecintaan saya pada bahasa ini sedari dulu, yang antara lain alasannya adalah karena kitab suci agama saya tertulis dalam bahasa ini, maka saya pun sebenarnya hendak mengajak siapa saja untuk sedikit lebih akrab dengan bahasa ini sehingga tidak merasa angker ketika bersanding dengan nathiq atau penuturnya.
Komentar kompasianer ini lantas juga membuka kembali ingatan saya pada sebuah film Sang Kyai, yang berkisah tentang perjuangan Kyai Hasyim Asy'ari pada masa penjajahan.Â
Pada film tersebut, saya terkenang pada sebuah plot dimana waktu itu Kyai Hasyim sedang dipenjara oleh tentara Jepang dan hendak dibebaskan oleh puteranya, Kyai Wahid Hasyim.Â
Saat Kyai Wahid tengah membesuk ayahandanya yang berada di dalam bui, saya ingat betul kalimat inspiratif yang dicakapkan oleh keduanya, yakni: man 'arofa lughata qawmin amina min syarrihi (barang siapa mengenal bahasa suatu kaum maka ia akan aman dari segala keburukan yang ditimbulkannya).