Entah kenapa, akhir-akhir ini air muka Dul Kaher selalu tampak begitu tenang. Tidak tampak sedikit pun rasa cemas maupun khawatir meskipun tulisan-tulisannya hanya dilihat dan dinikmati sedikit pembaca.Â
Tidak seperti biasanya, sikapnya yang seringkali uring-uringan jika ia sedang mendapati permasalahan terkait kegiatannya menulis.Â
Barangkali hal ini terjadi setelah ia menyadari bahwa tujuannya menulis bukanlah untuk mengumpulkan jumlah views, nilai, maupun komentar. Bukan itu. Namun, tujuannya dalam menulis itu adalah sekadar untuk 'melepaskan' sebuah karya yang barangkali akan bermanfaat bagi pihak lainnya.Â
Memang, pada masa yang lalu, saat awal kali ia terjun dalam dunia kepenulisan, ia pernah begitu menggebu untuk bisa menembus beberapa media demi menarik popularitas dan mendapatkan sejumlah cuan. Betapa senang hatinya manakala artikelnya terbit dan mendapatkan sejumlah uang.
Tapi itu dulu. Secara kontras, hal itu telah berbanding terbalik dengan kondisinya sekarang. Sebab, kini ia lekas menyadari bahwa dengan caranya menulis yang seperti dahulu telah membuat fisiknya menjadi cepat loyo. Lantaran fokusnya dalam menulis telah banyak bercabang antara berkarya, popularitas, dan penghasilan.Â
Sebenarnya, selama menjalani dunia menulisnya yang dahulu, artikel Dul Kaher memang sering terbit di pelbagai media. Selain itu, pembacanya pun banyak, sehingga tidak jarang pundi-pundi penghasilan juga mengalir lancar ke dalam rekeningnya.Â
Kendati demikian, lambat laun, ia merasa seakan ada yang kurang dari orientasi menulisnya yang seperti itu. Ia lekas bimbang terhadap prinsip menulisnya manakala nurani telah hadir untuk mengintrogasinya, apa tujuan sebenarnya yang ingin ia raih dari kegiatannya menulis itu?
Tetiba nuraninya menimbang, jika ia menulis hanya untuk mendulang pencapaian yang pernah ia raih itu, betapa ruginya pengorbanan waktu yang telah ia hamburkan.Â
Biasanya jika pertanyaan-pertanyaan itu telah muncul dalam benaknya, hadirlah rasa gelisah pada dirinya sehingga menjadikan apa yang telah ia kumpulkan itu berasa begitu hambar.Â
Dan semenjak Dul Kaher mempertimbangkan bisikan nuraninya ini, ia pun berkeinginan untuk merehab total tujuan utamanya dalam menulis.Â