Mohon tunggu...
Muhammad Adib Mawardi
Muhammad Adib Mawardi Mohon Tunggu... Lainnya - Sinau Urip. Nguripi Sinau.

Profesiku adalah apa yang dapat kukerjakan saat ini. 😊

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Seni Memoles Tulisan

5 September 2020   04:45 Diperbarui: 5 September 2020   23:08 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dan manakala ukuran kepuasan tidak lagi patut untuk dijadikan alat penilai siap tidaknya sebuah karya itu diterbitkan, maka kiranya kita dapat menggunakan ukuran lainnya, yakni keberanian si penulis itu sendiri untuk menampilkan karyanya.

Sebab, tidak semua penulis memiliki cukup keberanian untuk menampilkan karyanya pada sebuah media. Dan pada umumnya, alasan mereka tidak lain adalah khawatir akan menampakkan kebodohan dirinya.

Sebenarnya, saya sendiri pun pernah mengalami hal seperti ini pada saat awal kali menulis untuk media digital dan ketika berusaha menjaga konsistensinya. Karena begitu khawatirnya saya waktu itu akan menampakkan kebodohan diri dari tulisan yang saya buat secara asal-asalan, maka keadaan ini pun saya tuangkan dalam sebuah tulisan tersendiri yang berjudul "Menulis untuk Mendeklarasikan Kebodohan Diri."

Sejak tersusunnya tulisan itu, keberanian saya untuk menampakkan tulisan pada media pun berangsur kian terkumpul. Saya tidak lagi begitu khawatir untuk mengungkapkan pada semua bahwa tujuan saya menulis adalah untuk menampakkan kebodohan saya. Sebab saya memang berposisi sebagai seorang pembelajar yang menuangkan prosesnya dalam bentuk tulisan. 

Dan, karena proses belajar itu, maka jadilah tulisan saya yang mungkin akan terkesan berlari dan melompat kesana-kesini, bagai kera sakti. Eh.

Jika keadaannya sudah demikian, maka untuk sementara waktu, saya biarkan saja para pembaca mengalami kebingungan saat membaca tulisan liar saya ini. Sebab yang mereka hadapi memang sebuah tulisan yang timbul dari pikiran liar yang baru saja 'di-kandang-kan' oleh tuannya melalui sebuah tulisan.

Dari liarnya gagasan itulah, secara perlahan saya mulai mengakrabinya, menjinakkannya, sehingga ia pun menjadi lebih bersahabat dengan angan-angan saya. 

Jika keadaan saya sendiri sudah mulai akrab dengan tulisan saya ini, barangkali pembaca pun juga akan mulai mampu untuk mengakrabinya. Sebab, dari keadaan yang sudah semakin dekat dengan tulisan sendiri itu, setidaknya saya lebih berpeluang untuk mengenalkan hal-hal liar itu pada mereka.

Tulisan liar yang semakin akrab dengan mereka itulah yang telah melalui tahap 'polesan' yang berulang. Tampilannya yang agak indah menjadikan siapa saja lekas menyayanginya. 

Maka dari itu, saya benar-benar mohon maaf jika tampilan dari tulisan saya barangkali masih dirasa terlalu kasar. Mungkin saja kekasaran itu disebabkan oleh piranti bakat dan pengalaman menulis saya yang belum cukup memadai untuk menghaluskannya.

Dan seiring berjalannya waktu dan ke-ajeg-an saya menulis di sini, barangkali akan menjadikan 'binatang' liar itu semakin jinak pada tuannya maupun orang yang memandanginya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun