Maharaja Singa. Entah mengapa, rasanya waktu berjalan dengan teramat lambat. Apakah ini lantaran suasana hatinya yang sedang gundah? Ia merasa jiwanya seakan terhimpit. Dadanya serasa sesak. Isi kepalanya seakan mau keluar. Pikirannya mengembara ke mana-mana.Â
Malam ini, tak seperti malam-malam biasanya bagi SangIa bertanya dan mengadu pada Sang Penguasa seluruh alam mengenai kegelisahan yang menghampiri dirinya tiap malam tiba itu. Rasa gelisah yang lekas hadir pada dirinya akhir-akhir ini setelah anaknya secara tiba-tiba mengadu padanya mengenai jatah kursi raja.Â
Bukannya tak setuju, namun ia merasa anaknya itu masih terlalu hijau untuk menyelam dalam rimba kekuasaan yang penuh dengan godaan dan ancaman.Â
Pengalamannya yang cukup lama sebagai seorang raja rimba menjadikannya mafhum bahwa jabatan yang diinginkan anaknya itu bukanlah ihwal yang sembarangan, salah sedikit dalam melangkah rakyat rimbalah yang akan jadi korban.Â
Telah banyak cerita-cerita sejarah yang membuktikan dan mencatatnya. Akibat ketidaktelitian dan kezaliman sang raja rimba menjadikan suasana hutan penuh aura yang mencekam.Â
Namun, sang pangeran singa rupanya begitu bersikukuh hendak membuktikan kemampuannya pada sang ayahandanya. Sebagai bukti awal atas kepiawaiannya, ia ingin diberi kesempatan untuk mengatur secuil kawasan dari rimba di tanah kelahirannya.
Sang Maharaja Singa bukan semakin lega bercampur bangga atas penuturan ambisius puteranya itu, justru dari sinilah hatinya mulai dipenuhi rasa bersalah. Ia teringat dengan masa-masa mudanya saat menjadi raja kecil yang begitu dielu-elukan oleh rakyat di daerah kelahirannya sebagai apresiasi atas kinerjanya.Â
Namun, begitu ia berkuasa pada rimba yang lebih luas, justru ia merasa dikuasai oleh hewan-hewan lain. Dan jangankan dikuasai oleh hewan lain, ia pun merasa telah tak kuasa atas dirinya sendiri. Betapa tak berdikarinya ia kini.Â
Ia tak ingin angan-angan anaknya yang masih sesosok singa muda itu melayang seolah tanpa batas. Angan-angan akan kekuasaan yang hakikatnya menyimpan ketidakberdayaan di baliknya.Â
Tiba-tiba saja, Ia terbayang akan sosok Raja Panda. Seorang raja pendahulunya yang begitu dielu-elukan oleh rakyatnya sebab kebijakan dan perhatiannya yang sungguh-sungguh pada mereka.Â
Saat turun tahta, rakyat rimba pun menangisinya. Mereka menangis sejadi-jadinya sebab meyakini bahwa pemimpin yang dicintainya itu sebenarnya turun dari kekuasaannya bukan karena kelalaian namun akibat jeratan para serigala yang mabuk kekuasaan.Â
Dan yang lebih aneh lagi adalah manakala ia dengan begitu ringannya menurunkan tampuk kekuasaan, seakan keindahan istana dan segala pernak-perniknya tak berarti apapun dalam hatinya.Â
Begitu inginnya Sang Maharaja Singa untuk dapat meneladaninya. Pada siapakah ia dapat belajar sikap hidup yang sedemikian luhurnya itu? Apakah dengan merenungkannya saja telah cukup baginya untuk dianggap sebagai pembelajaran? Hatinya kian mengembara di tengah malam yang semakin kelam.
Jika ia menginginkan hal demikian, apakah kiranya anaknya si singa muda pun mau menurutinya? Sebab sebagaimana anggapan dari banyak penghuni rimba, kekuasaan adalah jaminan kenikmatan. Padahal, mereka akan tahu kenyataannya manakala mengalaminya sendiri, rasanya belum tentu demikian.Â
Andai saja penghuni rimba dapat memahami perasaannya kini, yang hidup ibarat boneka jailangkung. Sosok tak bernyawa yang digerakkan oleh sosok lain. Itulah hakikat kekuasaannya. Penuh kenikmatan saat dipandang namun penuh derita di dalam nuraninya.Â
Begitu menderitanya jiwa Sang Maharaja Singa sehingga ia berkeinginan kisah memilukan pada dirinya tak akan lagi terulang pada keluarganya. Cukuplah kisah pilu itu berakhir pada dirinya seorang.Â
Dan harapannya kali ini adalah bagaimana menemukan sosok guru spiritual yang akan mampu membimbing langkahnya dan terutama anaknya, agar tak lagi berambisi untuk menapaki jalan kekuasaan yang begitu licin dan berbahaya.Â
Ia sama sekali tak bisa membayangkan anaknya akan bertempur dengan para singa atau hewan lainnya demi menduduki singgasananya itu. Meski saat ini mungkin saja lawan masih tampak begitu lemah, namun siapapun tak ada yang tahu siapakah hewan yang menantangnya di masa mendatang.Â
Apalagi, jika ia mengingat akan kekuatan anaknya yang jauh dari kata sempurna. Cakrawala pengetahuannya yang masih sangat terbatas. Apalagi kebijaksanaannya, ia pun merasa tak sampai hati memikirkannya.Â
Hidung Sang Maharaja Singa berulangkali mendengus panjang mengisyaratkan panjangnya kegelisahan yang bersemayam dalam hatinya di malam itu. Dalam hatinya terus saja menggumam, "Guru spiritual, dimanakah aku akan menemukannya?"Â
Begitu sering ia mendapati penghuni rimba yang mendaku sebagai guru ruhani, namun rupanya mereka tak ubahnya seekor rakun yang menyamar sebagai filsuf yang bersahaja. Ambisi mereka pada harta tak beda jauh dengan kawanan serigala yang mabuk akan kekuasaan.Â
Hatinya terus saja menggumam, "Sang begawan spiritual, dimanakah aku akan mendapatinya?" Hatinya begitu mendamba perjumpaan dengan sang guru spiritual sejati yang benar-benar akan membimbingnya beserta segenap keluarganya agar tak lagi mabuk pada ilusi dunia.Â
Pada siapakah Sang Maharaja Singa hendak berguru? Panda, Kancil, Tupai, atau hewan hutan lainnya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H