Dan yang lebih aneh lagi adalah manakala ia dengan begitu ringannya menurunkan tampuk kekuasaan, seakan keindahan istana dan segala pernak-perniknya tak berarti apapun dalam hatinya.Â
Begitu inginnya Sang Maharaja Singa untuk dapat meneladaninya. Pada siapakah ia dapat belajar sikap hidup yang sedemikian luhurnya itu? Apakah dengan merenungkannya saja telah cukup baginya untuk dianggap sebagai pembelajaran? Hatinya kian mengembara di tengah malam yang semakin kelam.
Jika ia menginginkan hal demikian, apakah kiranya anaknya si singa muda pun mau menurutinya? Sebab sebagaimana anggapan dari banyak penghuni rimba, kekuasaan adalah jaminan kenikmatan. Padahal, mereka akan tahu kenyataannya manakala mengalaminya sendiri, rasanya belum tentu demikian.Â
Andai saja penghuni rimba dapat memahami perasaannya kini, yang hidup ibarat boneka jailangkung. Sosok tak bernyawa yang digerakkan oleh sosok lain. Itulah hakikat kekuasaannya. Penuh kenikmatan saat dipandang namun penuh derita di dalam nuraninya.Â
Begitu menderitanya jiwa Sang Maharaja Singa sehingga ia berkeinginan kisah memilukan pada dirinya tak akan lagi terulang pada keluarganya. Cukuplah kisah pilu itu berakhir pada dirinya seorang.Â
Dan harapannya kali ini adalah bagaimana menemukan sosok guru spiritual yang akan mampu membimbing langkahnya dan terutama anaknya, agar tak lagi berambisi untuk menapaki jalan kekuasaan yang begitu licin dan berbahaya.Â
Ia sama sekali tak bisa membayangkan anaknya akan bertempur dengan para singa atau hewan lainnya demi menduduki singgasananya itu. Meski saat ini mungkin saja lawan masih tampak begitu lemah, namun siapapun tak ada yang tahu siapakah hewan yang menantangnya di masa mendatang.Â
Apalagi, jika ia mengingat akan kekuatan anaknya yang jauh dari kata sempurna. Cakrawala pengetahuannya yang masih sangat terbatas. Apalagi kebijaksanaannya, ia pun merasa tak sampai hati memikirkannya.Â
Hidung Sang Maharaja Singa berulangkali mendengus panjang mengisyaratkan panjangnya kegelisahan yang bersemayam dalam hatinya di malam itu. Dalam hatinya terus saja menggumam, "Guru spiritual, dimanakah aku akan menemukannya?"Â
Begitu sering ia mendapati penghuni rimba yang mendaku sebagai guru ruhani, namun rupanya mereka tak ubahnya seekor rakun yang menyamar sebagai filsuf yang bersahaja. Ambisi mereka pada harta tak beda jauh dengan kawanan serigala yang mabuk akan kekuasaan.Â
Hatinya terus saja menggumam, "Sang begawan spiritual, dimanakah aku akan mendapatinya?" Hatinya begitu mendamba perjumpaan dengan sang guru spiritual sejati yang benar-benar akan membimbingnya beserta segenap keluarganya agar tak lagi mabuk pada ilusi dunia.Â