Tidak untuk hebat, kuasa, atau perkasaÂ
Melainkan untuk setia
Sebagai manusia
Dalam frasa 'Manusia mengembarai langit, manusia menyusuri cakrawala', seakan Mbah Nun hendak menuntun siapa saja, bahwa seseorang hendaknya menggali sedalam mungkin potensi yang dimiliki dirinya, sehingga ia dapat memberdayakan segala potensinya itu dengan semksimal mungkin.Â
Dua frasa awal pada puisi Mbah Nun ini mengingatkan saya pada QS Ar-Rahman ayat 33 yang artinya kurang lebih adalah, "Wahai sekumpulan jin dan manusia, jika kalian mampu untuk mengembarai langit dan bumi, maka jelajahilah. Dan kalian tidak akan sanggup untuk menyusurinya kecuali dengan kemampuan."
Saya memahami ayat tersebut seakan terdapat anjuran maupun tantangan bagi seluruh makhluk Allah baik itu golongan jin maupun manusia agar memberdayakan segala kemampuan mereka untuk mengembarai, mengeksplorasi, meneliti, memanfaatkan, dan memelihara seluruh ciptaan Allah yang terhampar di langit maupun di bumi ini.Â
Dan, manakala seseorang telah mengetahui dan memberdayakan potensi yang dimiliki oleh dirinya itu, hendaknya hal itu tidaklah ia jadikan sebagai ajang untuk mendeklarasikan kehebatan diri, merasa unggul atas makhluk yang lainnya, yang kemudian akan berpeluang mengantarkannya pada kesombongan, keangkuhan, dan kehinaan dirinya sendiri di hadapan Tuhan.Â
Justru sebaliknya, sepatutnya ia harus senantiasa menyadari, bahwa keunggulan pada dirinya itu merupakan modal yang Allah titipkan untuknya sebagai bekal untuk mendekatkan diri pada-Nya.
Untuk menjadi pribadi yang dapat semakin dengan Tuhan, maka tak lain tak bukan jalan yang ditempuh oleh seseorang adalah dengan cara memanusiakan manusia yang lainnya, ia harus mampu menjadi manusia yang manusiawi. Ia harus menjadi pribadi yang mampu menghargai dirinya maupun makhluk lainnya. Ia tidak berbuat zalim terhadap dirinya sendiri maupun orang lain, sekeruh dan sekelam apapun masa lalunya itu.Â
Boleh saja ia bersikap keras terhadap kesalahan dan khilaf dirinya di masa terdahulu, sebagai cambuk untuk dirinya agar tidak terulang kembali. Namun, sekeras apapun sikap seseorang terhadap masa lalunya itu, sepatutnya tidaklah kemudian ia membenci dan mengutuk dirinya sendiri, sebab ia merasa tidak ada peluang lagi bagi dirinya untuk bangkit dan memperbaiki diri.
Untuk dapat berdamai dengan masa lalunya, seseorang perlu membekali dirinya hati dan pikiran yang dingin agar ia benar-benar sadar, tahu, dan paham, apa sebenarnya potensi yang telah dititipkan oleh Tuhan pada dirinya itu. Dengan berbekal itu semua, maka ia pun akan menjadi pribadi yang tidak mudah menyerah dan berputus asa dalam menjalani cobaan kehidupan, sebab ia senantiasa berupaya memperbaiki dirinya untuk menjadi manusia semakin manusiawi sebagaimana yang dikehendaki oleh Tuhan.