Mohon tunggu...
Taryadi Sum
Taryadi Sum Mohon Tunggu... Insinyur - Taryadi Saja

Asal dari Sumedang, sekolah di Bandung, tinggal di Bogor dan kerja di Jakarta. Sampai sekarang masih penggemar Tahu Sumedang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Benarkah “Yang Ngontrak” Itu Masyarakat Kelas Dua?

10 Juli 2012   04:30 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:07 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekitar sepuluh tahun yang lalu ketika saya ngontrak di sebuah komplek perumahan di Kabupaten Bogor, saya mencoba pede dengan menanamkan sikap bahwa meskipun saya ngontrak, saya tidak merasa  sebagai orang miskin. Karena itu saya tidak pernah memposisikan diri sebagai masyarakat kelas dua di lingkungan itu.

Saya tetap berpartisipasi dalam sumbangan perbaikan pos ronda atau apapun, juga ikut bersaran dalam rapat warga dan mengikuti berbagai kegiatan yang diselenggarakan warga lingkungan tersebut. Ketika ada acara lomba-lomba anak pada kegiatan agustusan, anak-anakpun saya ikut sertakan. Saya tidak peduli apakah warga yang para pemilik rumah sendiri itu menganggap saya ke-pede-an atau tidak, biarlah itu urusan mereka.

Hasilnya adalah keluarga saya tidak dinomorduakan meskipun saya adalah hanya pengontrak di tempat itu. Ketika melihat istri saya ngajinya dianggap cukup bagus, tidak sungkan-sungkan diminta untuk mengajari mereka yang masih belajar. Mereka juga tidak sungkan meminta saweran pada saya ketika akan memperbaiki jembatan yang akan roboh.

Akhirnya setelah 3 tahun saya mengontrak dan akan pindah ke rumah sendiri , mereka sepertinya baru sadar kalau saya adalah hanya mengontrak. Apa ini hanya perasaan saya yang ge-er sendiri?. Faktanya adalah sekitar 30 dari 50 KK di RT itu mengantar kepindahan kami dengan kendaraannya masing-masing meskipun cukup jauh dari kabupaten ke Kota Madya bogor.

Saya sangat terharu karena jika rapat RT atau pertemuan ibu-ibu saja selalu tidak lebih dari 15 orang yang bisa hadir. Tetapi kali itu mereka benar-benar menyempatkan untuk mengantar kepergian kami. Padahal saya juga baru menginformasikan rencana kepindahan sekaligus pamit itu hanya sekitar 15 jam sebelumnya. Malamnya saya pamit, besoknya paginya kami pindahan.

Ketika sampai di rumah baru kami yang masih belum kelar betul, saya juga tidak menjamunya karena mereka ternyatasudah menyiapkan banyak makanan  untuk dimakan sama-sama dan ditinggalkan untuk kami sekeluarga saat itu.  Rupanya malam beberapa saat setelah saya pamit Pa RT, Bu RT langsung berkoordinasi dengan ibu-ibu lain untuk menyiapkan seluruh konsumsi kepindahan kami tanpa kami tahu sama sekali. Itu menjadi peristiwa istimewa yang tak akan pernah terlupakan sehingga setiap lebaran saya sekeluarga masih selalu mengunjungi bersilaturahmi sama mereka.

Karena itu saya sangat sebel jika ada anggapan bahwa mereka yang ngontrak itu masyarakat kelas dua yang bisa diabaikan. Juga dari sisi mereka yang mengotrak itu sendiri yang seringkali memposisikan diri sebagai masyarakat kelas dua dengan enggan berpartisipasi atau menyampaikan pendapatnya hanya karena merasa cuma pengontrak.

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun