“Jangan lupa perempatan depan pasar juga dipasangi baliho. Itu lokasi strategis,” ia menutup pembicaraan lewat ponsel dengan petugas yang memasang spanduk. Aku masih sangsi dengan nama yang kami usung ini. Sudah 3 hari ini aku selalu bertamu ke rumahnya walau untuk sekadar mendinginkan pikiran. Sejak kecil kami sering menghabiskan waktu di beranda rumahnya ini. Emperan yang berhadapan langsung dengan taman kecil hasil garapan terampil tangannya semakin menyejukkan pikiran yang sedang kalut.
“Wes to. Jika terlalu dipikir justru bikin makin pusing, lho. Memangnya ada yang salah dengan calon kita?” ujarnya. Dengan santainya ia menyruput kopinya yang tinggal setengah. Sementara kopi di depanku masih saja kubiarkan utuh tanpa kusentuh. Sepertinya sudah dingin.
“Aku kok masih bimbang, kang?”
“Pak Amir!” seorang ibu dengan tas belanja penuh di kedua tangannya lewat di depan beranda menyapaku. “Wah, sampeyan kok ndak bilang-bilang nyalon lurah juga. Jangan kuatir pak, ntar sekeluarga saya mendukung sampeyan,” ujar ibu itu sumringah.
“Iya, jeng. Tadi aku lihat spanduknya di pertigaan,” datang lagi seorang ibu yang asyik menggendong bayinya yang tertidur pulas. “Ternyata sampeyan kalo macak ganteng juga, pak.” Sambil lalu mereka pamit dan melanjutkan obrolannya.
Tak lama kemudian lewat seorang bapak berpakaian resmi. Tahu aku ada di beranda ia menyapa dan menyalamiku. “Pak Amir, gak salah pak jika nantinya desa kita ini panjenengan yang mimpin. Semoga menang, pak,” ujarnya kemudian pamit.
Aku hanya tersenyum kecut mendengar celotehan orang-orang yang dari kemarin mengomentari berita tercalonnya aku sebagai lurah. Ia juga tersenyum sambil masih memegang cangkir kopinya. Namun sepertinya bukan senyum kecut atau kecewa.
Lirboyo, 25 Januari 2014