Mohon tunggu...
Mas Amik
Mas Amik Mohon Tunggu... -

tidak selamanya bicara harus lewat suara dari mulut... tangan pun bisa bicara, lebih banyak dan awet malah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Spanduk Calon

26 Januari 2014   23:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:26 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Jangan lupa perempatan depan pasar juga dipasangi baliho. Itu lokasi strategis,” ia menutup pembicaraan lewat ponsel dengan petugas yang memasang spanduk. Aku masih sangsi dengan nama yang kami usung ini. Sudah 3 hari ini aku selalu bertamu ke rumahnya walau untuk sekadar mendinginkan pikiran. Sejak kecil kami sering menghabiskan waktu di beranda rumahnya ini. Emperan yang berhadapan langsung dengan taman kecil hasil garapan terampil tangannya semakin menyejukkan pikiran yang sedang kalut.

“Wes to. Jika terlalu dipikir justru bikin makin pusing, lho. Memangnya ada yang salah dengan calon kita?” ujarnya. Dengan santainya ia menyruput kopinya yang tinggal setengah. Sementara kopi di depanku masih saja kubiarkan utuh tanpa kusentuh. Sepertinya sudah dingin.

“Aku kok masih bimbang, kang?”

“Pak Amir!” seorang ibu dengan tas belanja penuh di kedua tangannya lewat di depan beranda menyapaku. “Wah, sampeyan kok ndak bilang-bilang nyalon lurah juga. Jangan kuatir pak, ntar sekeluarga saya mendukung sampeyan,” ujar ibu itu sumringah.

“Iya, jeng. Tadi aku lihat spanduknya di pertigaan,” datang lagi seorang ibu yang asyik menggendong bayinya yang tertidur pulas. “Ternyata sampeyan kalo macak ganteng juga, pak.” Sambil lalu mereka pamit dan melanjutkan obrolannya.

Tak lama kemudian lewat seorang bapak berpakaian resmi. Tahu aku ada di beranda ia menyapa dan menyalamiku. “Pak Amir, gak salah pak jika nantinya desa kita ini panjenengan yang mimpin. Semoga menang, pak,” ujarnya kemudian pamit.

Aku hanya tersenyum kecut mendengar celotehan orang-orang yang dari kemarin mengomentari berita tercalonnya aku sebagai lurah. Ia juga tersenyum sambil masih memegang cangkir kopinya. Namun sepertinya bukan senyum kecut atau kecewa.

Lirboyo, 25 Januari 2014

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun