Hubungan antara pesantren dan kreator seni tradisi lalu tidak harmonis dan saling berlawanan. Budaya pesantren dan budaya lokal lalu sulit bertegur sapa. Ironisnya, budaya pesantren dan budaya lokal masyarakat---khususnya seni tradisi---tidak sekadar berjalan pada wilayahnya masing-masing, melainkan kadang bertentangan, bertabrakan, dan saling melenyapkan. Energi keduanya pun tersedot habis dalam pusaran konflik yang tentu saja tidak produktif, melainkan destruktif.
Sudah saatnya kita menepis pola berpikir biner dan dikotomis, misalnya antara "santri" dan "abangan", "muslim" dan "non-muslim", "Islam(i)" dan "non-Islam(i)", dan seterusnya. Yang penting bukan "baju" dan "simbol" luarnya, melainkan sumbangsih positifnya bagi kemanusiaan dan kehidupan.
Sudah lama kita tidak menyaksikan lagi apresiasi kesenian tradisi (lokal ) di pesantren-pesantren, baik dalam bentuk pementasan, kajian, maupun sekadar pengenalan pada santri dan masyarakat sekitar. Hal ini mungkin disebabkan karena pengelola pesantren menerapkan "bunyi ajaran agama" yang diambil dari teks-teks fiqih, hadis, dan menghadapkannya secara kaku pada realitas masyarakat dan tradisi-tradisi lokal, khususnya menyangkut keseniannya.
Pesantren lantas "gagal" mendengarkan aspirasi-aspirasi dasar dari masyarakat dan tidak mampu mengolahnya menjadi salah satu basis dari dinamika keilmuan keagamaan di pesantren. Kekakuan, ketertutupan, dogmatisme, dan kemandegan menyebabkan pesantren kehilangan visi "kepemimpinan budaya" di tengah masyarakat. Alih-alih saling mendekat dan bersinergi, pesantren dan masyarakat pun lalu berjauhan, bahkan saling bermusuhan.
Si Kabayan dan Kearifan Lokal
Masih berkaitan dengan pergulatan antara tradisi pesantren dan budaya lokal, tulisan ini juga ingin memotret "kesumpekan transformasi" di dalam Nahdlatul Ulama (NU) sebagai akibat klaim "otentisitas NU". Jika berbicara tentang pesantren, maka secara otomatis kita juga akan berbicara tentang NU karena sebagian besar pesantren yang tersebar di pelosok tanah air dikelola oleh warga Nahdhiyin.
Sebelumnya, penulis akan coba bercerita dulu tentang Si Kabayan. Kabayan adalah contoh khas kearifan lokal Sunda yang sering digambarkan sebagai sosok yang pandir tapi cerdik. Beberapa cerita yang mengambil sosok Kabayan sebagai tokohnya banyak dijadikan ta'bir (ibarat, contoh) oleh komunitas pesantren di tatar Sunda dalam menyampaikan pesan dakwah.
Korelasi "Pesantren" dan "Kabayan" seyogyanya menjadi sebuah pilihan menarik di tengah kebudayaan pesantren yang statis dan terjebak rutinitas yang beku. Penyebutan terus-menerus nama "Zaid" secara monoton dalam contoh kalimat tata bahasa Arab di pesantren---misalnya "Zaid datang", "Zaid dipukul", "Zaid dilewati" dan seterusnya---cukup menunjukkan betapa pesantren tidak dinamis dan terpisah dengan entitas (ke)budaya(an) lokal.
Pesantren sebagai sebuah lembaga alternatif dalam bidang pendidikan-keagamaan (tafaqquh fi al-dn) dan pengembangan masyarakat yang menekankan asas dakwah, ta'awwun, musyawarah, egalitarian, kesederhanaan, dan kemandirian, harus tetap menunjukkan warna lokal dalam mencapai tujuannya. Hal ini penting agar pesantren mampu menyatu dengan masyarakat.
Sampai di sini, penulis teringat sabda Nabi, "khtib al-ns bi qadri 'uqlihim: berdialoglah dengan masyarakat sesuai kemampuannya". Kita sebaiknya mampu mengembangkan pesantren, baik dalam aspek tradisi pemikiran, keilmuan, berbahasa, barpakaian, dan seterusnya tanpa melukai hak-hak kultural masyarakat di mana pesantren itu berada.
Resistensi terhadap Ma'had Al-Zaitun di Gantar Indramayu, adalah salah satu contoh betapa keberadaannya yang tanpa silaturahmi dan melibatkan masyarakat lokal akhirnya melukai "perasaan" masyarakat Indramayu.