Ketiga, kebebasan beragama seharusnya mencakup pula kebebasan untuk berpindah agama, artinya berpindah pilihan dari satu agama tertentu ke agama lain. Setiap warga negara berhak untuk memilih agama dan kepercayaan apapun yang diyakininya dapat membawa kepada keselamatan dunia dan akhirat. Karena itu, berpindah agama hendaknya dipahami sebagai sebuah proses pencarian atau penemuan kesadaran baru dalam beragama.
Anehnya sikap umum pemerintah dan masyarakat terhadap orang-orang yang pindah agama tidak konsisten, dan cenderung diskriminatif. Sebab, jika seseorang itu berpindah ke dalam agama yang kita anut, kita cenderung menerimanya dengan sukacita atau bahkan merayakannya. Sebaliknya, jika seseorang itu berpindah dari agama kita ke agama lainnya (keluar dari agama kita), kita cenderung marah dan memandang pelakunya sebagai murtad, kafir, musyrik dan sebagainya. Hal ini sangat tidak adil. Bagaimana mungkin kita dapat menerima perpindahan seseorang ke dalam agama kita dan menolak hal yang sama. Sebab, orang yang pindah agama itu murtad dalam pandangan semua agama. Jika bisa menerima orang lain masuk ke dalam agama kita, seharusnya mudah pula menerima orang kita masuk ke agama lain. Mengapa dalam beragama ada semacam pikiran culas? Hanya mau untung tetapi takut rugi.
Keempat, kebebasan beragama hendaknya juga mencakup kebolehan perkawinan antara dua orang yang berbeda agama atau berbeda sekte atau berbeda faham keagamaan sepanjang perkawinan itu tidak mengandung unsur pemaksaan dan eksploitasi. Artinya, perkawinan itu bukan dilakukan untuk tujuan perdagangan perempuan dan anak perempuan (trafficking in women and children) yang akhir-akhir ini menjadi isu global.
Yang penting dilindungi adalah hak warga negara untuk mencatatkan peristiwa penting tersebut, baik kepada lembaga pencatatan sipil maupun KUA. Negara berkewajiban mencatatkan peristiwa sipil warga, seperti kelahiran, perkawinan, dan kematian, sebaliknya warga negara berhak menerima pelayanan registrasi. Dalam hal ini negara tidak mencampuri urusan prosedur pernikahan berdasarkan ketentuan atau upacara agama apapun. Kedua calon mempelai berhak melangsungkan pernikahan berdasarkan pilihan dan kesepakatan bersama. Otoritas agama boleh saja membuat fatwa atau keputusan yang mengharamkan perkawinan lintas agama, atau keluarga dan individu boleh menganggap haram pernikahan antara pemeluk agama yang berbeda. Namun fatwa atau keputusan tersebut tidak mengikat negara dan masyarakat.
Kelima, kebebasan beragama hendaknya juga mencakup kebebasan mempelajari ajaran agama manapun di lembaga-lembaga pendidikan formal, termasuk lembaga pendidikan milik pemerintah. Konsekuensinya, setiap siswa atau mahasiswa berhak memilih atau menentukan agama mana yang akan dipelajarinya. Tidak boleh dibatasi hanya pada agama yang dianut peserta didik. Demikian juga, kebebasan untuk memilih tidak mengikuti pelajaran agama tertentu. Akan tetapi, lembaga pendidikan dapat mewajibkan peserta didiknya untuk mengikuti pelajaran budi pekerti atau etika berdasarkan Pancasila, karena pelajaran itu penting bagi pembentukan karakter warganegara yang baik.
Keenam, kebebasan beragama memungkinkan negara dapat menerima kehadiran sekte, paham, dan aliran keagamaan baru sepanjang tidak menggangu ketenteraman umum dan tidak pula melakukan praktek-praktek yang melanggar hukum, seperti perilaku kekerasan, penipuan atau pembodohan warga dengan kedok agama.
Ketujuh, kebebasan beragama mendorong lahirnya organisasi-organisasi keagamaan untuk maksud meningkatkan kesalehan warga, meningkatkan kualitas kecerdasan emosional dan spiritual berdasarkan ajaran agama tertentu selama tidak mengharuskan keimanan kepada suatu agama atau keyakinan sebagai syarat. Konsekuensinya, negara atau otoritas keagamaan apa pun tidak boleh membuat fatwa atau keputusan hukum lainnya yang menyatakan seseorang sebagai kafir, murtad atau berdosa. Atau memberi label terhadap suatu paham, sekte, aliran keagamaan atau kepercayaan tertentu sebagai paham sesat.
Kedelapan, kebebasan beragama mengharuskan negara bersikap dan bertindak adil pada semua penganut agama dan kepercayaan yang hidup di negara ini. Negara tidak boleh bersikap memihak terhadap kelompok keagamaan tertentu dan berbuat diskriminatif terhadap kelompok lainnya. Dalam konteks ini seharusnya tidak ada istilah mayoritas dan minoritas, juga tidak ada istilah penganut agama samawi dan non-samawi. Demikian juga tidak perlu ada istilah agama induk dan agama sempalan. Jangan lagi ada istilah agama resmi dan tidak resmi atau diakui dan tidak diakui pemerintah. Setiap warga negara mendapatkan hak kebebasannya dalam menentukan pilihan agamanya.
RUU KUHP: Ancaman Kebebasan Beragama/Berkeyakinan
Melihat secara detail RUU KUHP, khususnya berkaitan dengan pasal-pasal yang memuat soal tindak pidana terhadap agama terkesan tiga hal sebagai berikut:
Pertama, bahwa RUU ini sangat ambisius mengatur soal agama. Pada UU KUHP sebelumnya masalah agama hanya diatur dalam satu pasal, yaitu pasal 156 a tentang tindak pidana terhadap tindakan penodaan pada suatu agama yang dianut di Indonesia. RUU sekarang merumuskan soal agama dalam suatu bab khusus yang dinamakan Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Beragama, terdiri dari dua bagian. Pertama, soal tindak pidana terhadap agama dan kehidupan beragama; dan kedua, soal tindak pidana terhadap kehidupan beragama dan sarana ibadah. Seluruhnya tercakup dalam 8 pasal, yakni pasal-pasal 341, 342, 343, 344, 345, 346, 347, dan 348.