Kebebasan Beragama dalam Perspektif HAM
Kebebasan berbagama dan berkeyakinan merupakan salah satu hak asasi manusia yang paling krusial dan utama. Saking pentingnya hak kebebasan beragama dan berkeyakinan, maka publik sepakat memasukkannya ke dalam kategori non-derogable right, yaitu hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi atau dibatasi dalam keadaan apapun. Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak-hak yang termasuk dalam non-derogable right diatur dalam Pasal 28 huruf I ayat 1 yang meliputi Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut. Kemudian pada Penjelasan Pasal 4 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga telah menjelaskan lebih lanjut mengenai yang dimaksud dengan ``dalam keadaan apapun`` termasuk keadaan perang, sengketa bersenjata, dan atau keadaan darurat.
Sedangkan derogable right adalah hak-hak yang masih bisa dikurangi atau dibatasi pemenuhannya oleh Negara dalam keadaan tertentu. Oleh karena itu, dalam konteks kebebasan beragama dan berkeyakinan, Negara wajib menjamin dan melindungi setiap warga negaranya sebagaimana dikuatkan dalam UU Nomor 12 Tahun 2005 merupakan ratifikasi dari kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik. Konsekuensi logisnya (politik dan hukum) bagi pemerintah Indonesia untuk melindungi (to protect), menghormati (to respect) dan memenuhi (to fulfill) hak-hak dasar warga Negara menjadi sebuah keniscayaan.
Dalam konteks ini, mestinya Polri---kapasitasnya sebagai alat keamanan Negara dan merupakan lembaga yang menjadi bagian sistem pemerintahan---wajib menjalankan perintah Undang-Undang tersebut. Berdasarkan UU tersebut Polri dalam menjalankan tugasnya wajib berpegang teguh pada prinsip-prinsip penegakkan hukum, independen (netral, tidak berpihak), tidak mengintimidasi, tidak memata-matai, tidak memprovokasi dan tidak mengkriminaslisasi suatu kelompok aliran agama tertentu. Polri justru harus memberi perlindungan kepada setiap warga masyarakat dan mencegah terjadinya tindak kekerasan yang akan menimpa mereka serta menindak perilaku kriminal yang berbuat anarkis dengan mengatasnamakan agama tertentu (Bambang Widodo Umar, 2013)
Setara Institute mencatat setidaknya dari tahun 2007-2010 terdapat 775 pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Ini belum termasuk data pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan dalam 5 (lima) tahun terakhir. Banyaknya potensi pelanggaran dalam kebebasan beragama/berkeyakinan tersebut harus disikapi oleh Polri secara serius sebagai bentuk perlindungan bagi setiap warga Negara.
Kebebasan Beragama/Berkeyakinan dalam Instrumen HAM Internasional
Kebebasan beragama selain tercantum dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), sebagaimana ditulis Siti Musdah Mulia, juga ditemukan dalam berbagai dokumen historis internasional tentang HAM, seperti dokumen Rights of Man France (1789), Bill of Rights of USA (1791) dan International Bill of Rights (1966). Pasal 2 DUHAM menyatakan: “setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum di dalam Deklarasi ini tanpa perkecualian apapun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat yang berlainan, asal mula kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran, ataupun kedudukan lain.”
Secara umum DUHAM yang diumumkan PBB tahun 1948 mengandung empat hak pokok. Pertama, hak individual atau hak-hak yang dimiliki setiap orang. Kedua, hak kolektif atau hak masyarakat yang hanya dapat dinikmati bersama orang lain, seperti hak akan perdamaian, hak akan pembangunan dan hak akan lingkungan hidup yang bersih. Ketiga, hak sipil dan politik, antara lain mernuat hak-hak yang telah ada dalam perundangan Indonesia seperti: hak atas penentuan nasib sendiri, hak memperoleh ganti rugi bagi mereka yang kebebasannya dilanggar; hak atas kehidupan, hak atas kebebasan berfikir, berkeyakinan dan beragama, hak yang sama bagi perempuan dan laki-laki untuk menikmati hak sipil dan politik, hak seorang untuk diberi tahu alasan-alasan pada saat penangkapan, persamaan hak dan tanggung jawab antara suami-istri, hak atas kebebasan berekspresi. Keempat, hak ekonomi, sosial dan budaya, antara lain mernuat hak untuk menikmati kebebasan dari rasa ketakutan dan kemiskinan; larangan atas diskriminasi ras, wama kulit, jenis kelamin, gender, dan agama, persamaan hak antara laki-laki dan perempuan untuk menikmati hak ekonomi, sosial dan budaya; hak untuk mendapat pekerjaan; hak untuk memperoleh upah yang adil bagi buruh laki-laki dan perempuan; hak untuk membentuk serikat buruh; hak untuk mogok; hak atas pendidikan: hak untuk bebas dari kelaparan (Dr. Musdah Mulia, 2007)
Prinsip kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam dokumen HAM internasional tersebut secara jelas disebutkan dalam pasal 18: “Setiap orang berhak atas kemerdekaan berfikir, berkeyakinan dan beragama; hak ini mencakup kebebasan untuk berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan pengajaran, peribadatan, pemujaan dan ketaatan, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, dimuka umum atau secara pribadi.“
Hak kebebasan beragama dinyatakan pula secara lebih rinci dalam Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik pasal 18. Kovenan ini telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005. Isinya sebagai berikut: (1) Setiap orang berhak atas kebebasan berfikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara individu maupun bersama-sama dengan orang lain, di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengamalan dan pengajaran; (2) Tidak seorang pun boleh dipaksa sehingga menggangu kebebasannya untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaan sesuai dengan pilihannya.
DUHAM menyebut istilah basic human rights (hak-hak asasi manusia dasar), yaitu hak asasi manusia yang paling mendasar dan dikategorikan sebagai hak yang paling penting untuk diprioritaskan di dalam berbagai hukum dan kebijakan, baik di tingkat nasional maupun internasional. Hak-hak asasi manusia dasar itu adalah serangkaian hak yang memastikan kebutuhan primer material dan non-material manusia dalam rangka mewujudkan eksistensi kemanusiaan manusia yang utuh, yaitu manusia yang berharga dan bermartabat. Walaupun, secara eksplisit tidak dijumpai satu ketetapan atau penjelasan yang merinci tentang hak-hak apa saja yang termasuk di dalam basic human rights ini, namun, secara umum dapat disebutkan hak-hak asasi dasar tersebut mencakup hak hidup, hak atas pangan, pelayanan medis, kebebasan dari penyiksaan, dan kebebasan beragama. Hak-hak itu, dan juga secara keseluruhan hak asasi manusia didasarkan pada satu asas yang fundamental, yaitu penghargaan dan penghormatan terhadap martabat manusia (human dignity).