Mohon tunggu...
Kang Insan
Kang Insan Mohon Tunggu... karyawan swasta -

God created men in order to tell stories

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Para Burung

18 September 2015   09:18 Diperbarui: 16 Februari 2017   13:39 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Sejak menjabat kepala desa, Juki memelihara beberapa ekor burung. Burung-burung itu tidak semuanya dibelinya sendiri, tetapi ada beberapa hasil pemberian teman-temannya. Burung-burung yang dibelinya sendiri burung-burung yang sudah pandai terbang dan hebatnya burung-burung itu selalu kembali ke sangkarnya. Sayangnya, suara burung-burung itu kurang bagus. Kadang, orang-orang yang mendengar burung itu berkicau sangat kesal sebab suaranya seperti dengungan saja. Tapi, Juki senang sebab burung-burung itu tidak merepotkannya. Setiap pagi ia terbangkan burung-burung itu, lalu siang atau sore burung itu kembali dengan tembolok yang sudah penuh makanan. Juki tidak perlu melatih burung-burung itu mencari makan. Tak heran jika Juki sangat menyayangi burung-burung itu.

Adapun burung-burung hasil pemberian teman-temannya adalah burung-burung berkicau yang masih liar. Selain bulu-bulunya indah, suaranya juga merdu. Setiap pagi burung-burung itu berkicau memperdengarkannya suaranya yang merdu yang membuat banyak orang terkagum-kaguam akan kicauannya itu. Sayangnya, burung-burung itu terlalu merepotkan dan mahal dalam perawatannya. Harus sering rutin dimandikan dan dicekoki ramuan pemerdu suara. Makanannya juga mahal, harus yang bermutu, kalau tidak, suaranya tidak merdu lagi. Juki sering direpotkan oleh burung-burung yang ini. Burung-burung ini tidak bisa dilepaskan dari sangkarnya, sebab ia akan terbang dan tidak kembali lagi. Sebenarnya, bagi Juki, burung-burung itu terbang dan tidak kembali lagi tidak apa-apa, tapi ia khawatir saja teman-teman yang meberi burung-burung itu akan kecewa. Dan, sebetulnya juga, dulu ia pernah sampaikan kepada teman-temannya bahwa ia akan menerima burung-burung itu tapi ia tidak berjanji menjamin burung itu tidak terlepas atau mati.

“Tak apalah, Dik Juki. Kalau memang burung-burung kami mau dilepas, silakan. Itu sudah hak prerogatif sampeyan yang sudah sah menjadi pemilik burung-burung ini,” begitulah jawaban serempak teman-temannya itu.

(4)

Pak Kuluk, tetangga Juki, punya burung. Burungnya besar, kepakan sayapnya panjang, dan paruhnya besar. Burung itu tidak diberi sangkar. Oleh Pak Kuluk, burung itu dibiarkan berkeliaran, terbang bebas, dan tidak peduli makan apa dan di mana.

Sering Pak Kuluk diprotes orang-orang desa itu. Tapi, dengan santai, protes orang-orang itu hanya ditanggapi dengan senyuman khasnya. Katanya, “Namanya juga burung besar ya makannya banyak. Kalau kalian tidak ingin makanan burung kalian, makanan kalian juga, tidak dimakan burung besarku harus dijaga, bukan burungku yang harus diusir apalagi dimasukin sangkar.”

Burung besar Pak Kuluk pernah “menyerang” sangkar burung-burung Juki. Sangkar-sangkar burung Juki berantakan dan beberapa burungnya terlepas.

Pak Kuluk tidak meminta maaf kepada Juki sebab pikirnya, Juki jadi kepala desa karena jasanya juga. Juki sendiri seperti tidak mempermasalahkan soal sangkar burungnya yang rusak. Ia lebih senang mengurusi urusan desa yang kian hari kian terasa berat.

(5)

Seminggu lalu, Raden Paiman main ke desa itu. Ia mendatangi rumah yang dulu ditinggalinya. Raden Paiman kaget ketika sampai di depan halamannya, ia disambut sapaan khas burung beonya.

“Juki jelek! Juki jelek!” suara burung beo itu terdengar jelas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun