Ia bahagia melihat burung-burung yang datang ke ladang jagungnya. Ia bernyanyi-nyanyi entah lagu apa. Tapi, ketika burung-burung itu datang untuk kawin, ia pun bersedih. Ia ingin kawin juga seperti burung-burung itu. Tapi, siapa pengantinnya?
(3)
“Hari akan banyak tamu yang datang,” katanya pada Pengantinya. “Hari ini pernikahan kita, bukan? Orang-orang akan memberikan doa dan restu kepada kita. Kita akan hidup berbahagia hingga umur kita habis.”
Ia melihat Pengantinnya tersenyum. Cantik, begitu pikirnya. Lebih cantik dari gadis yang dulu. Tapi, Pengantinnya diam saja. Tidak bergerak-gerak. Ia duduk di pelaminan yang dibuat sendiri. Pengantinnya duduk di sampingnya.
Matahari kian siang. Tak ada satu pun orang yang datang ke situ.
Matahari sudah condong ke barat, masih tak ada yang berkunjung.
Lalu, ia pun mengajak pengantinnya berjalan dan berkeliling menemui orang-orang-orang di rumahnya. “Doa dan restu itu harus kita jemput. Jangan khawatir kita akan baik-baik saja.” Ia berkata kepada Pengantinnya yang digendongnya dengan penuh kasih sayang.
(4)
“Dasar gila!” begitu teriak seorang penduduk yang pertama ditemuinya ketika ia berkata dan memperkenalkan bahwa yang digendongnya itu adalah mempelai perempuannya. Tapi, ia tersenyum, lalu pindah ke rumah yang lain.
“Gilaaaa!” Semuanya meneriakinya dan memakinya gila. Ia tersenyum. “Sabar, ya, Sayang,” katanya pada Pengantinnya. Ia mulai kelelahan mengendong Pengantinnya. Sekarang orang-orang mengikutinya, anak-anaknya mengikutinya. Mereka ramai-ramai menertawainya dan mengolok-ngoloknya.
Tiba-tiba, saat ia melewati rumah gadis yang dulu nyasar ke gubuknya, kakak gadis itu berteriak, “Bakar saja pengantinnya!”