(1)
Matanya terbelalak. Ia meronta-ronta ingin melepaskan diri. Suaranya sudah habis, hanya dengusannya saja yang terdengar. Tapi, orang-orang itu malahan mendorongnya hingga ia jatuh tersungkur ke tanah. Lalu, mereka menindihnya beramai-ramai. Sebagian memegangi kakinya dan tangannya. Ia menjilat tanah yang menempel di bibirnya dan meludahkannya. Rasa tanah yang pahit tak sepahit apa yang dilihatnya. Matanya terus menatap pada pengantinnya. Ia menangis ketika tubuh pengantinnya itu mulai dijilati api. Orang-orang itu membakarnya, lalu bersorak-sorai mengelilingi tubuh pengantinnya yang terbakar.
“Mengapa kalian membakarnya!? Apa salahnya?” Ia sekuat tenaga mengucapkan kata-kata itu. Tapi, sayangnya suaranya benar-benar hilang. Ia menangis, dan mencoba meronta kembali, lalu sebuah pukulan mengenai kepalanya.
Gelap.
(2)
“Datanglah ke pesta pernikahanku, ya,” begitu sapanya setiap ia bertemu dan berpapasan dengan orang-orang. Kadang, ia berjumpa dengan orang yang cuma mengangguk dan tersenyum. Kadang, ada yang menatapnya tidak mengerti. Kadang, ada yang balik bertanya, “Kapan?” Tapi, ia sendiri tahu bahwa orang-orang itu pasti tidak akan datang. Lagi pula, siapa yang percaya bahwa dirinya menikah?
Tuhan menciptakannya dengan wajah yang sangat buruk. Ia sendiri ketakutan jika melihat wajahnya apalagi orang lain. Anak-anak memanggilnya “si Wajah Hantu”. Ia sering menangis jika mengingat wajahnya. Ibu-ibu akan memanggil anaknya untuk masuk ke dalam rumah jika ia lewat di depan rumahnya. Berkali-kali ia mencoba bunuh diri, tapi selalu ia urungkan jika ia ingat pada Nenek Rah.
Dulu, ia tinggal bersama Nenek Rah yang menemukannya sewaktu masih bayi di ladang jagung. Nenek Rah merawatnya hingga ia remaja. Nenek Rah sangat menyayanginya. Pun, dirinya sangat sayang pada Nenek Rah. Ketika Nenek Rah sakit, ia merawatnya dengan ikhlas sebagaimana dulu Nenek Rah merawatnya. Setelah Nenek Rah meninggal, ia sebatang kara sampai sekarang. Sejak dulu orang-orang jarang datang ke gubuknya, mereka baru datang ketika ada keperluan mendesak, misalnya, ia dimintai tolong untuk menangkap ular, tikus, atau kelelawar yang masuk ke dalam rumah.
Sebagai lelaki normal, ia pun ingin menikah. Tapi, ia sadar betul bahwa keinginan itu sia-sia saja. Ia pernah jatuh cinta pada seorang gadis yang kurang normal ingatannya. Gadis itu tersasar hingga sampai ke gubuknya. Ia senang ketika gadis itu suka berbincang-bincang dengannya meskipun yang mereka perbincangkan tidak mereka pahami juga. Sayangnya, setelah dua hari tinggal di situ, orang tua gadis itu dan saudara-saudaranya datang dan menemukan gadisnya itu tinggal bersamanya. Mereka menuduhnya menculik gadis itu. Ia dipukuli, digebuki, hingga ia pingsan.
Setelah kejadian itu, ia mencoba melupakan gadis tersebut. Tapi, tidak mudah sebab baginya, ia seperti menemukan kesamaan dengan gadis itu. Kadang ia meneriakkan gadis tersebut tengah malam buta hingga orang-orang menyangka itu raungan hantu hutan. Kadang, ia memukul-mukul kayu pada batu, pohon, atau apa saja agar pikirannya bisa melepaskan gadis itu. Berbulan-bulan ia tersiksa batin sebab cinta yang tak kesampaian.
Pikirannya kepada gadis itu mulai hilang ketika ia mulai berladang. Tanah sepetak di belakang gubuknya ditanami jagung. Ia rajin merawat ladangnya itu. Ketika jagung mulai berbuah, ia membiarkan burung-burung datang dan mematuki bulir-bulir jagung yang tua. Lalu, ia berteriak-teriak kepada burung-burung itu, “Silakan nikmati! Aku sengaja menanam jagung ini buat kalian!”