Mohon tunggu...
Kang Insan
Kang Insan Mohon Tunggu... karyawan swasta -

God created men in order to tell stories

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Bang Toyib pun Pulang Kampung

22 Agustus 2011   14:24 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:33 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(1)

“Bang Thoyib
Bang Thoyib
kenapa tak pulang-pulang
Anakmu-anakmu
pangil-pangil namamu”

Ya, ya, ya, lirik lagu itu membuatku sedih, Kang. Aku ingat anakku.Waktu aku tinggal dulu, anakku baru belajar ngomong. Paling suka dia sebut kata, ‘pa’. Berulang-ulang dia sebut kata itu. Kelas berapa, ya, dia sekarang? Beberapa kali aku kirim surat, tapi kok tak ada balasan dari istriku. Apakah surat itu tidak sampai ataukah istriku memang tidak membalasnya. Tapi, tidak mungkin istriku tidak membalasnya. Rasanya, surat itu tidak sampai atau nyasar. Apa sebab tidak memakai kode pos sehingga surat itu tidak sampai atau nyasar? Tapi, dari dulu pun surat yang dikirim ke kampungku selalu telat. Sebab, Pak Pos tidak mengantarnya langsung ke alamat yang tertera di amplop, tetapi Pak Pos mengirimkannya ke alamat kantor kelurahan. Nah, kalau kepala dusunku datang ke kelurahan lalu ada surat buat warganya barulah Pak Sekdes menyerahkan surat itu. Itu pun bisa jadi akan lama lagi di rumah kepala kampung sebab belum tentu dia buru-buru mengantarkan surat itu kepada yang berhak sebab Kepala kampung juga sering banyak urusan. Tapi, anehnya kalau ada surat pajak, selalu saja dia antar tepat waktu. Wah, super kilat tuh surat pajak, jatuh temponya bulan Agustus, bulan April sudah nonggol. Malahan, surat pajak itu sampai diantar ke tempat kita kerja, ya, ke sawah, ke kebun, atau ke pangkalan ojek.

“Bayar pajak tidak boleh telat, kalau mau disebut warga yang Pancasilais” begitu kata Kepala kampung, sambil bertolak pinggang. Orang kampungku paling takut disebut orang yang tidak Pancasilais. Bisa repoturusan KTP, urusan mau nikah, urusan kematian, dan lain-lain.

Dihitung-hitung, lebih dari sepuluh kali lebaran, aku tidak balik-balik, Kang. Tapi, apa boleh buat emang waktu itu kondisi perekonomianku sangat sulit. Sebagai perantau yang tidak punya keahlian, sangat sulit mencari kerja. He-he-he, bahasaku mirip petugas penyuluh dari departemen tenaga kerja ya. Wualah, kementerian toh? Sebagai orang kampung, aku masih akrab dengan istilah lama, ya seperti kata departemen gitu. Tahun pertama kerjaku ya kerja serabutan. Jadi apa saja. Kadang kerja di bangunan, kadang ikut gali-menggali kabel telepon, kadang jadi tukang parkir. Ya, macam-macamlah. Penghasilanku ya pas-pasan. Boro-boro buat ngirimin keluarga buat aku makan sendiri saja ya nggak cukup. Tapi, aku pernah nitip uang buat keluargaku. Nitip sama si Samin. Nggak banyak. Rp 150.000,-. Kalau tidak salah, lima kali aku kirim uang ke keluargaku. Tapi, apakah uang itu sampai atau tidak, aku tidak tahu. Cuma aku percaya kok, orang kecil kayak si Samin tuh lebih dapat dipercaya dibanding dengan para anggota DPR yang perlente. Lha iya, buktinya waktu kampanye janji mau ngadain lapangan kerja yang banyak, lah mana? Nggak ada tokh. Samin tuh sudah teruji. Waktu aku sakit tipus, ya dia yang susah payah bawa aku ke dokter. Malahan, ngajak teman-temannya patungan buat bayar biaya dokternya. Dia nggak tanya apakah aku akan bantu dia juga kalau dia sakit. Itu yang namanya ikklas.

Tapi, ya sayang, Kang, orang baik seperti Samin mesti umurnya pendek. Samin meninggal dunia kecelakaan di kampung. Itu yang aku dengar dari kawan-kawan yang sempat bertemu denganku. Sejak Samin meninggal itulah aku tidak tahu kabar anak istriku lagi.

Soal istriku, aku percaya dia setia, Kang. Perempuan kampung itu teruji kesetiaannya. Nggak bakalan selingkuh. Istriku bukan cewek matre. Dulu dia memilihku dan menolak lamaran seorang briptu polisi lalu lintas yang sering menilang tukang ojek. Padahal, aku pengangguran kelas berat. Cuma memang aku buktikan bahwa aku pun setia. Dan, aku pun berjanji bahwa aku akan berusaha menafkahinya dengan uang dan kerja yang halal.

Kang, lebaran kali ini aku mau pulang. Aku sudah siapkan oleh-oleh buat anak dan istriku. Juga buat mertuaku. Aku akan naik motor, Kang. Motor baru, Kang. Sekarang ‘kan buat dapat motor baru gampang, Kang. Asal mau datang ke dealer, lalu berurusan deh dengan lembaga kredit, pulang-pulang sudah bawa motor. Mudah-mudahan istriku senang. Nanti Lebaran aku mau keliling-keliling kampung. Ya, bagaimana pun, Kang, aku ingin dikata sukses oleh tetanggaku dan teman-temanku. Apalagi, aku sudah lama tidak balik. Nanti aku kabari, Akang, kalau sudah sampai kampung.

(2)

Tahun lalu, aku pun pulang kampung,Yib. Sama sepertimu, aku pun naik motor baru. Aku pun bawa oleh-oleh. Buat istriku, aku beli handpone, sedang buat anakku, aku beli baju dan celana tiga setel. Sepanjang jalan sudah aku bayangkan istri dan anakku akan gembira menyambutku.

Yib,aku sampai kampungku pukul 17.00 hari pertama Lebaran. Ketika sampai depan rumahku, maaf sebenarnya rumah mertuaku, ada suasana yang berbeda aku lihat. Di samping rumah, seperti ada toko sekarang.

Saat aku berdiri di depan rumah itu, seorang anak remaja keluar dari dalam rumah. Aku tidak mengenal anak itu. Saat melihatku dia bertanya, “Bapak mau ketemu siapa?”

Lalu, aku menjawab, “Bu Mirna ada?”

“Ada. Bapak panggil saja,” jawab anak itu sambil terus berjalan.

Aku megetuk pintu rumah itu, sambil uluk salam, “Assalamualaikum!”

Dari dalam rumah terdengar langkah orang mendekat, lalu menjawab salamku, “Waalaikum salam!”

Aku hafal suara itu. Suara istriku. Jantungku berdegup, gembira.

Waktu sang empunya suara muncul, dia kaget melihatku, lalu pingsan.

Yib, ternyata istriku sudah menikah lagi. Ia menikah dengan sekretaris desa yang sudah lama menduda. Pak Sekdes itulah yang membuatkan toko di samping rumah. O ya, anak tadi rupanya anakku. Ah, aku sedih, anakku sendiri tidak mengenaliku lagi.

Yib, akhirnya  aku putuskan untuk kembali ke kota malam itu juga. Lebaran tidak terasa lebaran lagi. Suami baru istriku melepasku dan berkata, “Bang Toyib, kalau ada waktu, sering-seringlah main ke sini. Anakmu mungkin butuh perhatianmu.”

Aku cuma tersenyum. Senyum yang pahit, Yib. Lebaran tahun lalu begitu pahit bagiku. Mudah-mudahan nasibmu lebih baik dari nasibku, meskipun nama kita sama.

[tambun 22082011]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun