Hari itu Patung Pancoran yang berdiri paling tinggi di antara para patung lain mendengar sayup-sayup jeritan dua patung yang dianiayaan manusia. Nun jauh di sebuah kota. Tapi, sebagai patung dengan ketinggian 11 meter, sudah cukup baginya mendengar jeritan dan rintihan itu.
“Jangan kau hancurkan kami! Kami tidak bersalah!” begitu suara sebuah patung yang terdengar Patung Pancoran. Hatinya teriris-iris mendengar temannya dianiayaan. Ia ingin pergi ke sana. Tapi, kejadian itu sudah begitu cepat terjadi.
“Braaaaak! Braaaaaaak!” Pukulan-pukulan benda berat terdengar menghantam tubuh patung. “Braaaaaa! Tangannya lepas. Braaaaaaaak! Kepalanya lepas. Braaaaaaak! Badanya hancur. Braaaaaaak! Kakinya putus. Lalu, lebur di tengah sorak-sorai kegembiraan manusia seperti menang perang.
Patung Pancoran menitikkan air mata.
“Selamat jalan, teman-teman!” hanya itu yang bisa diucapkannya.
Lalu, Patung Pancoran mengontak patung-patung lain, mengabari peristiwa tersebut.
Segera saja kabar penganiayaan dua patung oleh para manusia itu menggegerkan dunia para patung. Mereka resah. Sebagai patung, mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Apa yang harus mereka perbuat? Penganiayaan sebenarnya sudah beberapa kali terjadi. Tidak hanya di satu kota, bahkan dibeberapa kota. Selama ini, mereka sudah protes, tetapi selalu saja tidak didengar oleh para manusia. Tapi, kejadian di kota itu, bagi mereka, sudah diluar batas perikepatungan.
Benar-benar di luar batas perikepatungan. Mengapa? Selama ini, hampir semua patung yang ada di negeri ini mengalami penyiksaan oleh para manusia. Baik dalam skala fisik maupun dalam skala batin. Skala fisik, misalnya, tangan-tangan usil manusia sering mencorat-coret tubuh mereka dengan cat. Bahkan, ada juga yang mematahkan beberapa bagian anggota tubuhnya, dari cuma jari hingga kepalanya yang dirusak. Skala batin, mereka tersiksa sebab sebenarnya mereka tidak ingin posisi mereka seperti itu terus-menerus, tetapi mereka tetap saja membiarkan mereka dalam posisi tersebut. Kadang mereka tidak mengerti mengapa manusia menjadikan mereka seperti itu.
Patung Pak Tani di Menteng, misalnya, secara batin dia tersiksa. Ia tidak terima kenyataan yang diberikan manusia kepadanya. Sebagai seorang petani, seharusnya manusia memberinya cangkul, tetapi ternyata malahan senapan yang diberikannya. Ia juga ingin protes sebab diletakkan di Menteng. Baginya, menteng itu kawasan elite di ibukota. Sudah tidak ada lagi sawah di sana. Aneh, bukan? Kok, petani tinggal di kawasan elite yang tidak ada sejengkal pun sawah di sana. Harusnya di sana berdiri patung yang “borju” dengan tampilan seperti eksekutif muda.
Setelah kontak-kontakan, para patung pun berkumpul di sebuah tempat di keheningan malam. Mereka menunggu hingga semua manusia terlelap tidur. Itu waktu yang sangat sulit sebab manusia-manusia itu kehidupannya 24 jam dari siang hingga malam. Mereka harus menunggu saat tersebut sebab mereka tidak ingin manusia-manusia menjadi marah jika mereka meninggalkan tempat masing-masing. Bisa-bisa, mereka semua dihancurkan.
“Baiklah, Saudara-saudara Para Patung yang budiman,” kata Patung Proklamator yang biasanya dapat ditemui di Jalan Proklamasi membuka suara. Patung itu sangat disegani. Selain sebab ia Patung Proklamator, juga sebab di tempatnya berdiri, di sana manusia sering berunjuk rasa. Jadi, Patung Proklamator dianggap berpengalaman dalam hal perunjukrasaan.
“Kita mulai saja pertemuan ini dalam rangka membicarakan nasib kita. Apa langkah yang kita buat terhadap tindakan manusia yang telah bertindak anarkis di luar perikemanusiaan dan perikepatungan dengan menghancurkan teman-teman kita?” Suaranya bergema, mirip suara sang Proklamator yang aslinya.
“Kita membuat surat protes!” kata Patung Selamat Datang.
“Ah, surat, suratan tidak bakal digubris oleh para manusia!” kata Patung Pembebasan Irian.
“Jadi, apa yang harus kita lakukan?” kata Patung Pancoran.
“Kita demo saja!”
“Demo, bagaimana?”
“Kita demonstrasi. Tapi, kita ajak semua patung yang ada di Indonesia, bahkan di dunia. Kita penuhi kota-kota jalan-jalan dengan patung hingga para manusia tidakk bisa kemana-mana,” jelas Patung Pembebasan Irian.
“Well, saya tidak setuju. Itu bukan cara patung. Itu bisa makin merusak citra kita sebagai patung. Kita adalah patung, yang dibuat dengan cita rasa seni kelas tinggi. Jadi, kita mesti melakukan sesuatu yang berkelas juga,” kata Patung Miss Liberty yang diundang sebagai utusan dari luar negeri.
“Ya, ya, saya setuju dengan Miss Liberty. Tapi, konkretnya bagaimana?” tanya Patung Proklamator.
“Kita ajukan gugatan ke Mahkamah Internasional? Bagaimana?” usul Miss Liberty.
“Wah, kalau itu saya tidak setuju. Saya tidak mau negeri saya tercoreng namanya di dunia internasional sebagainegeri pelanggar hak asasi patung! Nanti kasihan para manusia di negeri ini akan dicap sebagai tidak pelanggar hak asasi!” kata Patung Pancoran.
“Terus, bagaimana dong?”
Para patung itu berbicara sebagaimana manusia kalau sedang rapat dan perdebatan sengit di sana pun terjadi. Tak terasa hari menjelang subuh. Saat terdengar kumandang azan, mereka bergegas meninggalkan rapat! Tanpa keputusan apa pun. Maklum, mereka patung.
Jam tujuh pagi, saat lalu lintas sedang ramai-ramainya, seorang pengendara motor yang iseng melihat-lihat ke langit terkejut saat di sekitar Pancoran, tak ada lagi Patung Pancoran, yang ada adalah Patung Miss Liberty. Pengendara itu lalu teriak-teriak menunjuk-nunjuk ke arah patung tersebut. Lantas, orang-orang pun menengok ke atas dan betul, tidak ada Patung Pancoran, yang ada Patung Miss Liberty. Kegaduhan pun terjadi.
Hal sama terjadi pula di Menteng. Di sana tak ada lagi Patung Pak Tani, yang ada Patung Pancoran. Jakarta benar-benar gaduh. Sehari kemudian di Amerika pun heboh. Patung Miss Liberty hilang, diganti sebuah Patung yang lugu, jelek, dan berbau yang terbengong-bengong melihat dunia yang berbeda. Itu dia Patung Pancoran, nyasar ke amrik!
Lalu, para manusia itu pun merobohkan patung-patung itu. Manusia takut patung-patung akan berulah yang berlebih-lebihan. Mereka takut patung-patung menguasai peradaban manusia. Mereka takut patung-patung menjadi manusia. Maka, Para manusia menghancurkan patung-patung yang ada. Menghancurkan hingga berkeping-keping. Hingga wujudnya, kembali menjadi semen, pasir, dan batu-bata. Lalu, para manusia itu melupakan patung-patung tersebut. Namun, tanpa patung, manusia-manusia itu seperti kehilangan saingan. Mereka butuh patung-patung agar mereka tetap dianggap manusia. Lantas, diam-diam mereka membikin patung-patung baru. Tapi, mereka meletakkan patung-patung itu di hati masing-masing. Awalnnya satu patung, tetapi setiap hari selalu ada patung baru yang mereka buat sehingga akhirnya di hati para manusia itu penuh dengan patung-patung yang bersesakan hingga mengeraskan hati mereka.
Duh,……..
[tambunselatan, 20september 2011]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H