Mohon tunggu...
Kang Insan
Kang Insan Mohon Tunggu... karyawan swasta -

God created men in order to tell stories

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sengketa!

21 Agustus 2014   16:54 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:58 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

(1)

Aku berdiri di samping laki-laki tua yang tadi duduk satu kursi di bus dan  satu tujuan denganku. Ternyata tempat yang aku tuju adalah kampung laki-laki tua itu. Kami memandang persawahan yang kini ditutupi oleh ilalang. Benar, Teman, yang aku tatap benar-benar padang ilalang, pada ilalang yang sangat luas. Pucuk-pucuk ilalang ditepuk angin melambai-lambai seperti memanggil-manggil penghuni kampung yang sudah lama pergi merantau. Pun, terlihat bunga-bunga ilalang bergoyang-goyang sekadar menghibur mereka yang tertinggal di situ yang tak pernah lagi bermimpi tentang musim panen. Mereka yang tertinggal itu sudah lupa keceriaan mereka menyambut kelimpahan rejeki dari Yang Mahakuasa.

“Mengapa hanya padang ilalang yang aku lihat? Mana hamparan sawah dengan padi yang menguningnya? Kata kakekku, bukankah kampung ini dulu terkenal sebagai lumbung padi?” Aku membuka percakapan dengan laki-laki tua di sampingku. Tinggi laki-laki itu hanya sebahuku.

Laki-laki itu terkekeh panjang. “He-he-he-he-he-he-he-he.”

“Kenapa engkau terkekeh, Pak Tua?” tanyaku.

“Aku hanya bisa terkekeh bila mengenang saat sawah-sawah di sini masih subur. Ketika sawah-sawah di sini menjadi padang ilalang, dulu aku selalu menangis hingga bertahun-tahun sampai air mataku tak keluar lagi. Tapi, tangisanku tak mengubah apa pun, sawah-sawah itu tetap menjadi padang ilalang.  Jadi, buat apa aku menangis? Lalu,aku putuskan untuk terkekeh jika mengenang masa subur di kampung ini,” terang Pak Tua itu. Raut mukanya datar saja waktu menerangkan itu. Beberapa kali dia menunjuk-nunjuk padang ilalang di hadapan kami.

“Apa yang sebenarnya terjadi pada waktu itu, Pak Tua?”

(2)

Aku masih ingat kejadian-kejadian dalam rentangan dua puluh tahun lalu. Diawali ketika kampung ini kedatangan seorang anak muda. Anak muda yang ramah, senang bergul, dan rendah hati. Ia membeli satu setengah hektar sawah di sini. Ia pun menggarap sawahnya sendiri dibantu beberapa orang petani di sini. Konon, dari desas-desus yang aku dengar, cara anak muda itu menggarap dan memelihara sawahnya berbeda dengan kebiasaan petani-petani di sini. Tapi, hasil panennya membuat kami tercengang! Dari setengah hektar sawahnya itu, padi yang dapat dipanenya sebanyak 15 ton! Artinya, dalam satu hektar sawah, hasil panennya bisa sebanyak 30 ton! Padahal, biasanya hasil panen petani di sini sebanyak 5-6 ton per hektar.

“Hasil yang luar biasa, Anak Muda,”kata seorang petani ketika bertemu dengan anak muda itu di tempat penjemuran padi.

“Alhamdulillah,” hanya itu katanya. Tapi, ia tersenyum dan wajahnya cerah.

Sebab hasil yang luar biasaitu, lalu beberapa petani mengikuti cara anak muda itu bertani. Ternyata cara bertani anak muda itu tidak menggunakan pupuk urea dan obat-obatan, hanya menggunakan pupuk alami dan menggandalkan binatang untuk mengusir hamanya. Anak muda itu menyuruh petani-petani itu lebih giat pergi ke sawah dan mengurus sawah seperti mengurus anak-istrinya. Mereka kompak bergotong royong dan saling membantu bila ada yang kesulitan. Dan, hasil panen mereka berikutnya kalau ditotalkan mencapai 30 ton per hektar. Sayangnya, luas sawah yang dimiliki tiap-tiap petani itu tidak sampai hektaran, paling-paling 1-2 petak sawah saja. Awalnya petani yang mengikuti anakmuda itu hanya 4-5 orang, tapi lama-kelamaan jumlah  mereka semakin banyak, bahkan hampir seluruh petani mengikuti anak muda itu. Tinggal beberapa orang saja, petani itu bukan tidak mau mengikuti anak muda itu, tapi sebab takut pada Karta Legawa.

Karta Legawa petani terkaya di sini. Ia mendirikan Kelompok Tani Desa Makmur, sebuah kelompok tani yang konon katanya dibentuk untuk kepentingan petani sebab kelompok tani itu menyediakan bibit padi, pupuk urea, obat-obatan pertanian bagi petani yang membutuhkan. Hanya saja, ternyata kelompok tani itu hanya untuk kepentingan Karta Legawa saja sebab terbukti hanya membuat kaya Karta Legawa seorang diri, sebab petani lainnya tetap saja miskin, bahkan menjadi ketergantungan kepada Karta Legawa.

Ketika pertama kali tahu tentang anak muda itu, Karta Legawa memandangnya dengan sinis.

“Anak itu masih bau kencur, tidak mungkin bisa nyawah sebaik diriku!” begitu sesumbar Karta Legawa, “aku tak akan memberinya pupuk, obat-obatan, atau apa saja kebutuhan nyawahnya.”

Tapi, sayangnya dia tidak tahu kalau anak muda itu dan petani-petani kecil lain yang mendukungnya berbeda cara bertaninya. Mereka tiak butuh pupuk urea dan obat-obatan. Cara bertani yang berbeda dengan Karta Legawa yang masih saja mengandalkan pupuk urea dan obat-obatan lainnya. Karta Legawa masih saja setia sebagai pendukung program intensifikasi pertanian.

Karta Legawa murka saat tahu hasil panen anak muda itu melebihi hasil panennya!

Satu hari Karta Legawa mengumpulkan petani-petani setianya dan mengajak mereka mengadukan cara bertani anak muda itu kepada Kepala Desa.

“Apa yang salah dengan cara bertani anak muda itu, Pak Karta?” tanya Pak Kepala Desa ketika rombongan Karta Legawa sudah berada di Balai Desa.

“Anak muda itu tidak memakai pupuk urea, Pak Kepala Desa. Itu melawan kebiasaan kita bertani di sini. Kalau dibiarkan, maka Kelompok Tani Desa Makmur bisa bangkrut! Urea dan obat-obatan yang dijual di sana bakalan tidak laku! Jika sudah begitu, maka petani-petani di sini akan dirugikan!” kata Karta Legawa dengan berapi-api, tangan kanan berkali-kali dikepalkan.

“Betuuuul!” teriak para petani di situ mengiyakan kata-kata Karta Legawa.

“Tapi, bukankah hasil panen anak muda itu lebih baik?” sergah Kepala Dsa.

“Iya, hasil panennya lebih baik. Tapi, cara-caranya t8dak sesuai dengan kebiasaan kita!”

“Jadi, apa yang harus saya lakukan?” tanya Kepala Desa.

“Anak muda itu harus diusir dari kampung ini! Kalau tidak,maka kami akan membakar sawah-sawahnya!” teriak Karta Legawa.

“Baiklah…Nanti saya akan memanggil anak muda itu,” kata Pak Kepala Desa.

Rombongan Karta Legawa itu pun bubar meninggalkan Balai Desa. Sepanjang jalan mereka berteriak-teriak memanggil orang-orang agar keluar! Mereka mengatakan kepada orang-orang bahwa cara bertani anak muda itu dibantu oleh dukun-dukun. Sebab itu, mereka mengajak mereka untuk membakar sawah-sawah anak muda dan petani-petani yang mendukungnya.

Dan, pada hari tu sawah-sawah anak muda dan petani-petani pendukungnya dibakar massa, pembakaran itu ternyata merambat ke semua sawah-sawah yang ada yang tidak bisa dipadamkan siapapun. Selama tiga hari sawah-sawah di sini terbakar habis…..

Anak muda itu diusir keluar kampung ini…

(3)

Matahari sudah condong ke barat. Aku duduk di pinggir jalan,, di bawah sebuah pohon besar yang daunnya lebat.  Tapi, Pak Tua itu terus saja matanya memandang padang ilalang itu.  Aku tak tahu apa yang dipikirkannya.

“Bapak tahu ke mana anak muda itu pergi setelah diusir dari sini?” tanyaku, memecah keheningan yang tiba-tiba saja muncul.

Lelaki tua itu menoleh kepadaku. Ia tersenyum.

“Aku-lah anak muda itu, Nak,” kata Pak Tua, “setiap tahun aku ke sini diam-diam, berharap ada sawah-sawah lagi di sini, tapi tidak pernah lagi ada petani yang berhasil menggarap tanah ini menjadi sawah-sawah subur. Dan, tanggal ini adalah tanggal di mana aku diusir dan sawah-sawahku di bakar.”

Deg! Jantungku berdegup. Tadi di bus, Pak Tua itu bercerita tentang sawah-sawahnya yang subur dan kampungnya yang makmur, ya kampungnya sekitar 50 Km dari tempat kami berbicara ini, kampung yang sejauh mata memandang penuh dengan padi yang sedang menguning…Konon besok panen yang ke-4 dalam tahun ini.

---------------------------------Tamsela, 21 Agustus 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun