Mohon tunggu...
Kang Insan
Kang Insan Mohon Tunggu... karyawan swasta -

God created men in order to tell stories

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hanya Suara Kita

12 September 2014   23:53 Diperbarui: 16 Februari 2017   14:05 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Matahari persis di atas ubun-ubun. Bayangan pun menjadi sebuah titik yang berada di pas bawah bendanya. Siapa pun segan berjalan dalam terik seperti itu. Keringat tiada henti mengucur. Belum lagi, debu-debu yang dterbangkan kendaraan berhamburan menempel di wajah-wajah yang basah dengan keringat.  Bila saja tidak ada yang dibutuhkan, lebih baik berandam di bak mandi daripada berpanas-panas menyelusuri jalan-jalan.

Di sebuah jalan besar, seorang ibu dan anaknya berjalan di trotoar jalan itu. Sesekali mereka berhenti bertanya pada orang yang ditemuiya. Setelah orang yang ditanya menunjuk sebuah arah, kedua ibu beranak itu pun pergi ke arah tersebut. Pakaian keduanya lusuh. Wajah mereka kusam penuh debu dan daki. Ibu itu menuntun anaknya yang usianya mungkin delapan tahun. Alas kaki mereka “sepasang” sendal jepit yang berbeda ukuran dan warnanya. Sebutan sepasang tentu tidak tepat. Beberapa kali ibu itu membungkuk membetulkan tali sendal jepitnya lepas. Lubangnya kebesaran sebab itu talinya terus saja lepas meskipun diujungnya sudah diberi karet gelang.

“Mak, kita mau ke mana?” tanya anaknya.

“Sebentar lagi kita sampai, Nak,” jawab ibunya. Ibu itu berhenti sebentar, menatap wajah anaknya,lalu dihapusnya keringat di kening anaknya itu. “Kamu sudah capai, Nak?”

“Aku haus, Mak,” jawab anaknya.

Ibunya mengeluarkan sebotol minuman dari keranjang yang dibawanya. Isi botol itu tinggal setengahnya. Diberikannya botol itu pada anaknya.

“Jangan dihabiskan ya,” kata Ibunya.

Anak itu minum air di botol itu. Tidak banyak. Mungkin sekitar 3-4 tegukan saja. Tapi, itu sudah cukup mengusir rasa haus yang terasa di tenggokannya.

Setelah itu, mereka pun berjalan kembali. Selama perjalanannya, mereka berpapasan dengan banyak orang. Beberapa kali orang-orang yang berpapasan dengan mereka menyingkir dari mereka. Mobil-mobil di jalan tetap berlalu-lalang, berseliweran menerbangkan asap dan debu-debu di jalanan.

Ibu itu menghentikan langkahnya. Anaknya pun ikut berhenti. Mereka berhenti di depan sebuah gedung megah.

“Mak, kenapa kita berhenti? Sudah sampaikah, Mak?” tanya anaknya. Kepalanya mendongak saat berbicara, ia ingin melihat wajah ibunya.

“Sudah, Nak,” jawab ibunya. Ia masih tertegun di depan gedung itu.

“Ayo, kita masuk, Nak,” ajak Ibu itu. Lalu, ia kembali menuntun anaknya.Mereka melangkah menuju pintu gerbang untuk masuk ke gedung itu.

Persis di depan pintu gerbang, seorang satpam menghentikan langkah mereka.

“Ibu, mau kemana? Mau ketemu siapa?” tanya satpam itu. Suaranya terdengar tegas.

“Boleh, saya masuk ke dalam gedung itu, Pak. Saya ingin ketemu orang-orang yang berkantor di sana,” jawab Ibu itu.

“Maaf, Ibu siapa?” tanya satpam itu lagi. Suaranya kian tegas.

“Seperti Bapak, saya juga rakyat,” kata Ibu itu.

Tiba-tiba, satpam itu tersenyum dan tampak senang hatinya saat mendengar jawaban Ibu itu.

“Baiklah, silakan Ibu masuk,” kata satpam itu. Dipersilakannya ibu beranak itu untuk masuk. Pintu gerbang dibukanya.

“Apakah saya harus meninggalkan identitas, Pak?” tanya Ibu itu sebelum meninggalkan pintu gerbang.

“Tidak perlu, Bu. Siapa pun pasti mengenali orang-orang seperti kita,” terang satpam itu. “Oh ya, kalau ketemu orang-orang di sana tolong sampaikan salam saya, salam dari rakyat juga.”

Ibu itu tersenyum. Ia pun melangkahkan kakinya kembali, sambil menuntun anaknya.

“Mak, kenapa kita boleh masuk?” tanya anaknya.  Mereka terus berjalan menuju gedung utama yang jaraknya dari pintu gerbang cukup jauh.

“Sebab, kita rakyat, Nak,”jawab Ibunya.

“Rakyat itu siapa, Mak?”

“Rakyat itu…orang-orang seperti kita.”

“Orang yang tidak punya baju dan susah makan ya, Mak?”

Ibu itu terdiam. Ia tetap berjalan menuntun anaknya itu.

Sesampainya di gedung utama, mereka melihat banyak orang berlalu-lalang. Orang-orang itu berpakaian rapih-rapih dan bagus-bagus. Beberapa kali dilihatnya orang-orang memakai jas dan dasi sedang berjalan tergesa-gesa memasuki sebuah ruangan. Ibu dan anaknya itu tak ada yang memperhatikannya. Hanya ketika mereka hendak masuk ke ruang utama, seorang satpam menghentikan langkah mereka.

“Maaf, Ibu dilarang masuk,. Di dalam sedang ada sidang,” kata satpam itu.

Ibu itu tersenyum, lalu berkata, “Saya rakyat, Pak.”

“Wah, berarti Ibu sama seperti saya. Saya juga rakyat. Baik, silakan Ibu masuk,” begitu kata satpam itu saat mendengar bahwa Ibu itu rakyat. Wajahnya gembira seperti menemukan orang yang senasib dengannya di sebuah tempat yang segala-galanya mengatasnamakan rakyat.

“Terima kasih, Pak,” kata Ibu itu.

Pintu ruangan utama dibukan oleh satpam itu  yang tak henti-henti tersenyum.  Dari dalam ruangan itu terdengar ada orang yang sedang berbicara. Kedua ibu beranak itu masuk ke dalam ruangan.

“Mak,kita boleh masuk sebab kita rakyat ya, Mak?”

“Betul, Nak.”

Di ruangan itu sedang berlangsung  sebuah persidangan. Suasana agak-agak panas, kedua ibu beranak itu tidak paham apa yang sedang diperbincangan. Beberapakali terjadi interupsi oleh peserta sidang.

“Mak, mereka siapa?”

“Mereka wakil kita, Nak.”

“Tapi, mereka berbeda dengan kita, Mak.”

“Tentu, sebab mereka bukan kita. Mereka hanya wakil kita, Nak.”

“Mak, bolehkah aku meminta sesuatu pada mereka?”

“Kalau sekadar minta boleh, Nak. Coba saja.”

“Ayo, Mak, kita ke depan!” Anak itu menarik lengan Ibunya  untuk maju ke depan. Ibu itu mengikuti anaknya.

Keduanya maju ke depan menuju meja pimpinan sidang.  Ketika mereka sampai di depan pimpinan sidang,  pimpinan sidang yang sedang berbicara tiba-tiba terdiam.

“Hei, siapa yang mengizinkan kalian masuk?!” Teriak pimpinan sidang.

“Kenapa kami tidak boleh masuk, Pak?” Anak itu malah bertanya.

“Ini tempat wakil rakyat yang terhormat bersidang,” kata pimpinan sidang.

“Tapi, saya rakyat. Ibu saya juga rakyat, Pak,” kata anak itu.

“Interupsi, Pimpinan sidang! Interupsi, Pimpinan sidang!” teriak anggota sidang.

“Iya, kenapa?”

“Izinkan anak itu bicara, Pimpinan sidang!”

“Baik, baik. Akan saya izinkan anak itu bicara,” kata pimpinan sidang, “silakan, Nak, apa yang ingin kamu sampaikan? Petugas, beri anak ini mik biar suaranya terdengar keras.”

Seorang petugas memberi anak itu mik.

“Bapak-bapak! saya ingin makan! Saya ingin pakaian! Saya ingin sekolah! Itu saja, terima kasih,” kata anak itu.

Lalu, semua peserta sidang bertepuk tangan. Mereka memberikan standing applaus.  Pimpinan sidang menyalami Ibu dan anak itu. Semua peserta sidang berebut menyalami ibu dan anak itu. Lalu, mereka ramai-ramai mengarak keluar ruangan sidang dengan sangat gembira. “Hidup rakyat! Hidup rakyat!” begitu yel-yel mereka. Setelah Ibu dan anak itu keluar ruangan sidang, mereka kembali masuk ruangan. Mereka kembali bersidang.

Di Jalan besar itu, setelah keluar gedung, jam empat sore. Kedua Ibu bernak itu terus berjalan, entah kemana, tapi mereka menyusuri  trotoar jalan besar yang mulai teduh dan ramai sekali.

“Mak, apakah mereka akan memenuhi permintaanku?” tanya anak itu.

“ Semoga, Nak. Tapi, hampir seluruhnya dari mereka tidak mendengar apa yang kamu katakan tadi,” kata Ibunya tenang.

“Mengapa, Mak?”

“ Suara rakyat adalah suara Tuhan, Nak.”

“Maksudnya, Mak?”

“Hanya mereka yang dekat dengan Tuhan saja, yang mampu mendegar suara Tuhan, Nak.” Terang Ibu itu.

“Oh, begitu ya, Mak.”

-------------------------Cibitung, 12 September 2014.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun