Mohon tunggu...
Kang Insan
Kang Insan Mohon Tunggu... karyawan swasta -

God created men in order to tell stories

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Puspa: Catatan Sang Pelacur

19 September 2014   16:51 Diperbarui: 16 Februari 2017   14:03 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa pendapat saya tentang penutupan Gang Dolly? Pertanyaannya harus saya jawab dari sudut apa? Sudut saya sebagai seorang pelacur? Lah, sebagai seorang pelacur, kalau pertanyaannya begitu, itu pertanyaan retoris, yang ngak perlu dijawab, sebab sampeyan sudah pasti tahu jawabannya dan saya pun sudah pasti menjawabnya seperti yang sampeyan pikir. Kalau sampeyan paksa juga maka saya tidak akan berpendapat pula, lah saya sendiri sekarang ngak punya pendapatan kok. He-he-he. Tapi, saya pernah tinggal di Kramat Tunggak loh. Jadi, saya ini mantan penghuni salah satu wisma di sana. Nah, kalau soal penutupan Kramat Tunggak, saya bica ngomong walaupun sebatas yang saya tahu dan sebatas yang saya rasakan. Jadi, subjektif gitu.

Ups…sampeyan lupa Kramat Tunggak? Bukankah itu salah satu tempat paling legendaris di Jakarta bagi pengejar kenikmatan dunia? Saya selalu ingat tempat itu. Di sana saya pakai nama Puspa. Kata orang, Puspa itu berarti bunga. Ya, tentu saja saya jadi kembang, eh ngak ding, sebab di sana teman saya juga cantik-cantik. Jadi, semuanya juga kembang. Soal hiruk pikuk musik-musik dari dangdut sampai rock, orang sudah tahu dan sudah nebak. Lalu, soal bau minuman keras hingga sekadar soft drink pun tidak terlepaskan dalam kehidupan di sana. Apalagi soal tubuh bahenol yang berlaku tidak senonoh dan orang-orang mabuk beraroma kemaksiatan ya di sana tempatnya.

Saya tinggal di sana sekitar tiga tahun. Saya tinggal di Wisma Puspa Indah, RT 002/RW Khusus. Germo saya seorang perempuan gemuk yang baik hati dibandingkan dengan germo-germo lain. Saya datang ke sana diajak tetangga saya yang sudah duluan tinggal di sini. Waktu itu saya baru saja cerai dengan suami saya, beruntung saya belum punya anak. Bapak mengawinkan saya dengan seorang rentenir tempat bapak meminjam uang buat kami makan. Maksudnya Bapak, kalau saya kawin dengan rentenir itu, utang-utang Bapak yang numpuk padanya jadi lunas. Tapi, saya ngak tahan sebab ternyata istri rentenir itu banyak, dan semuanya terpaksa kawin dengannya, sebab bapak-bapaknya terlibat utang-piutang dengan rentenir itu. Ya, masa itu adalah masa krisis ketika banyak perusahaan bangkrut dan terjadi PHK massal.

Sampeyan, gimana sih, tentu saja pada awalnya saya tidak tahu kalau Kramar Tunggak itu tempat lokalisasi. Ketika saya tahu, saya mau balik lagi ke kampung. Tapi, saya tidak punya uang sepeser pun. Dan, selama di sana, Germo saya tidak pernah maksa saya harus ngelayani para tamu. Selama seminggu dibiarkannya saya tinggal di sana, makan-minum pun saya dapat secara gratis. Selama seminggu saya mengalami perjuangan batin yang luar biasa.  Bayangkan baru tiga hari di sana, bapak sudah kirim surat minta dikirimi uang buat makan keluarga kami. Akhirnya, pada satu malam, saya datang ke tempat germo dan berkata bahwa saya sudah bulat untuk jadi pelacur di sana.

Di Kramat Tunggak, setiap awal bulan kami didatangi petugas dari Dinas Kesehatan. Katanya kami harus diinjeksi agar tidak terkena penyakit menular. Kadang-kadang kalau yang nyuntik kami masih muda dan ganteng, tidak segan-segan kami menggodanya.

“Ngak siang ngak malam, terus-terusan nih kita disuntik,” begitu kata temanku. Kami pun cekikikan apalagi ketika rona wajah yang nyuntik memerah.

“Nyuntik yang depan dong, Mas, jangan yang belakan.” Goda yang lainnya lagi.

Pokoknya seru. Kadang petugas itu sendiri yang menggoda kami, biasanya petugas yang sudah sering datang kemari dan berpengalaman menangani kami.

Setiap jumat pagi, kami ikut pengajian. Sueeeer, di Kramat Tunggak ada pengajiannya! Tentu saja, saat ikut pengajian, pakaian kami harus rapi. Kami pakai baju gamis, pakai kerudung. Ya, ya, seperti ibu-ibu majelis taklim begitu. Setiap ikut pengajian itu, saya selalu menangis sebab saya dan teman-teman pun sadar bahwa kami hidup bergelimang maksiat. Bohong, kalau kami tidak mengerti surga-neraka. Bohong, kalau kami tidak takut Tuhan. Kami pun sama seperti yang lain. Sayangnya, dulu, ya, dulu jalan ini yang menyelamatkan hidup kami. Dan, kalian tidak pernah ada ketika kami betul-betul berjuang antara hidup dan mati.  Ups, maaf kok saya jadi emosional begini ya.

Enam bulan setelah Kramat Tunggak ditutup, saya bertemu tetangga saya yang membawa saya ke Kramat Tunggak. Saya bertemu dengannya di rumah sakit, ia terkena HIV. Katanya, lima bulan yang lalu ia sudah tahu terkena HIV, tapi ia tetap kerja melayani laki-laki pemuas nafsu. Ah, berapa puluh atau ratus laki-laki yang tertular olehnya. Ia meminta maaf kepada saya, dan meminta saya agar bertobat. Saya mengiyakan permintaan, lalu ia tersenyum, kemudian meninggal.

Aneh, kok, bisa ya pelacur meninggal dengan tersenyum?

[sebelumnya baca di sini] atau http://fiksi.kompasiana.com/cermin/2014/09/17/kayungyun-catatan-sang-pelacur-674946.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun