Empati meruapakan sesuatu yang sangat langka—sebab persaingan antarparadigma sering dimenangkan “cara berpikirku” dan “cara berpikirmu”, bukan “cara berpikir kita”. “Aku” dan “kamu” lebih banyak mendahulukan kepentingan pribadi masing-masing ketimbang mengutamakan kepentingan “kita”. Sebagian resolusi konflik jadi bersifat transaksional. Sedangkan resolusi yang ditawarkan bersifat transformatif.
Titik pijaknya adalah mengerti dan mehamami orang lain, mendengarkan pendapat orang lain dengan menyikapinya secara akal sehat dan hati yang lapang. Berusaha untuk mengerti terlebih dahulu tidak ada salahnya, baru kemudian kita akan dimengerti.
Mandela mempunyai prinsip, “Keberanian bukan berarti tiadanya rasa takut, melainkan kemenangan atas ketakutan. Berani bukan berarti dia yang tidak merasa takut. Melainkan yang berhasil mengalahkan rasa takut.”
Beruntung Indonesia pernah memiliki tokoh perdamaian K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Gus Dur boleh disebut Mandela tapi Jombang, meskipun tetaplah berbeda antara Gus Dur dengan Mandela. Almarhum berani membubarkan departemen yang korup. Berjiwa besar dengan memaafkan rival-rival politik yang pernah mendholiminya.
Cinta damai dengan melarang kaum Nahdliyin Jawa Timur Nggruduk kalau Gus Dur dimakzulkan dari kursi kepresidenan.
Politisi oportunis Indonesia—sampai hari ini—tetap keras kepala, sulit berempati. Kaum pragmatis yang gemar mengekploitasi dan memanipulasi kosakata rakyat dengan gincu kemunafikan dan hiprokisi dalam korupsi berjamaah. Semoga spirit ubuntu Nelson Mandela mampu diteruskan oleh generasi bangsa selanjutnya. Beliau-beliau tetap kita ingat dan kenang dengan mesra.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H