Sepanjang lorong gelap ingatan, kenangan itu membuat langkah kaki limbung tak beraturan. Tanpa cahaya penerang, hanya berharap kepada fatamorgana kunang-kunang, bagian mana harus ku lalui sebagi perwujudan sesal diri. Mengenang penghianatan, sakitnya perasaan menghujam.
Kinanti, telah sembilan episode puisi mengaliri sanubari, seribu lebih diksi terpilih hendak mewakili, namun belum jua gejolak perasaan mampu terangkat barang sejengkal. Sumbatan emosi berujung penyesalan, tangis kepedihan tak jua mampu menemukan titik didih agar menguar.
Jika ini adalah karma atas perbuatan, sungguh aku pantas menerima derita sebagai buah keculasan. Kepadamu yang pernah aku biarkan menangis menangung beban penghianatan, kepadamu yang dulu sempat aku perlakukan sebagai pelampiasan keangkuhan.
Kinanti, jika pertemuan ini terjadi. Mungkinkah akan ku lihat lagi senyumu berseri, lesung pipit menambah cantik wajah ayu yang sempat berubah layu. Sungguh sebuah penyesalan menyesakkan dada, membayangkan engkau tetap bermuram durja di alam sana.
Entah cara bagaimana agar doa dan pengharapan bisa sampai ke alam nirwana, mungkinkah bait tanpa rima, diksi usang bertinta airmata, mampu menembus penjagaan malaikat  di ketinggian derajat.
Kinanti, maafkan aku.
#####
Bganbatu, oktober 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H