Wahai kesatria sepakbola, dirimu duka, nelangsa, hilang kendali jiwa atas raga, tersebab pagar pengayoman bertingkah durhaka. Menyatukan politik dengan olahraga, menitipkan kepentingan 2024 dalam skema.
Gelanggang seketika sirna, unjuk kesaktian musnah tanpa rupa, olah batin, olah rasa, olah ketangkasan, hanya dibalas permohonan maaf belaka.
Wahai kesatria sepakbola, kembalilah darimana engkau bermula. Dari sawah kembali berlumpur duka, dari pantai kembali menjemur asa, dari pelosok nusantara kembalilah dengan membawa kabar kepada ayah dan bunda.
Bukan kita tidak siap siaga, bukan kita lalai mengasah logika, bukan kita asyik masyuk terayu pujan semesta. Namun para tuan pemangku bijaksanalah telah merenggut masa, memotong dahan muda untuk kepentingan siapa.
Jika ksatria hendak unjuk sakti unjuk mantra sepakbola, sudi kiranya singgah di padepokan kumuh penuh tanaman duri berkayu akasia. Lihatlah kesetiaan mereka, berjemur panas meringkuk hujan, berlari naik turun gunung mencari kesempatan menendang si kulit bundar. H#ingga hati itu tiba, bocah kurus bertelanjang dada, siap sedia mengibarkan sangsaka kepentas dunia.
Berdukalah
Bersedihlah
Tafakur menyeimbangkan mimpi dengan fakta
Esok hari kita akan menendang bola, merebut juara, mengumandangkan lagu kebangsaan Indonesia raya dengan perasaan bangga.
Jangan dendam, jangan cepat berputus asa, Biarkan mereka yang durhaka kepada sepakbola, akan di hukum bumi di kutuk angkasa.