Sesungguhnya tiada keengganan bagiku mengulurkan tangan, menyambut hangat kedatanganmu di antara senja nan temaram. Kewajibankulah memuliakan tuan berjas mahal, berbadan wangi lagi bertutursapa sopan, bersama serombongan juru gambar profesional, selusin kulitinta dengan sigap mencatat setiap detik kejadian. Sungguh, aku ingin meninggikanmu seumpama bintang di antara matahari dan rembulan.
Ingatanmu dan ingatanku ternyata mencipta perbedaan, engkau pernah berjanji akan menyediakan sebutir nasi di meja makan, meniadakan hutang agar hidup kita lebih elegan, menyederhanakan urusan agar kaum jelatah tempatmu berasal, tak perlu bermalam di gedung dewan, tak perlu turun kejalan hanya untuk menyuarakan sulitnya keadaan. Mana janjimu dulu ketika engkau mendatangi rumahku, meminta dukungan suara, memohon kiranya semua kita menyatukan langkah, mengantarkanmu kepada sebuah tahtah.
Wajahmu, senyumu, gaya bicaramu, kelembutan dustamu, indahnya melalaikan sumpahmu, tergambar jelas di guntingan koran pembungkus ikan gembung rebus yang di beli dari pasar. Serendah itukah dirimu? Senaif itukah hidupmu?
Maaf, cukup seribu kali aku menelan pahit busuknya janji.
#####
Baganbatu, maret 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H