Mohon tunggu...
Kang Marakara
Kang Marakara Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pengangguran Terselubung

Belajar dan mengamalkan.hinalah aku,bila itu membuatmu bahagia.aku tidak hidup dari puja-pujimu

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengapa Orang Miskin Memilih Rokok Ketimbang Membeli Makanan Bergizi?

23 Februari 2023   07:55 Diperbarui: 23 Februari 2023   13:27 513
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi rokok dan bahayanya bagi kesehatan/sumber: pixabay.com

Bagi para perokok aktif, kegiatan menghisap sebatang rokok adalah sebuah kebiasaan yang rutin di lakukan setiap hari. Boleh di katakan tidak ada hari tanpa asap tembakau. Siang atau malam, dalam keadaan senggang atau sedang bekerja, baik ketika keuangan sedang lapang, maupun ketika ekonomi sedang kesempitan. Merokok tetap prioritas utama.

"Lebih baik putus cinta daripada putus rokok" sepertinya bukan slogan kosong belaka. Bagi para perokok, sebatang rokok bisa menghadirkan seribu macam sensasi yang bisa meringankan beban pikiran, mendatangkan ketenangan, bahkan beberapa perokok pernah menjawab bahwa rokok bisa mendatangkan kebahagiaan. Kesehatan? ini bisa urusan belakangan. Bagaimana bila tidak ada uang?

Kenyataan mengejutkan adalah ketika para orang miskin lebih suka menghabiskan sebahagian pendapatanya sehari hari untuk membeli sebungkus rokok daripada memenuhi kebutuhan diri dan keluarga akan makanan bergizi. Ini ironis.

Setelah bekerja keras seharian, berbekal tekad untuk mencukupi kebutuhan pangan bergizi untuk keluarga tersayang, namun kenyataan lebih memprioritaskan membeli rokok ketimbang membeli sumber makanan bergizi buat anggota keluarga.

Tidak kurang dari menteri keuangan, Sri Mulyani ikut menyoroti hal ini. "Ini [rokok] kedua tertinggi sesudah beras. Melebihi konsumsi protein seperti telur dan ayam, serta tahu dan tempe."

Mengapa banyak orang miskin lebih memilih rokok ketimbang membeli makanan bergizi?

Anda punya uang kemudian membeli rokok, itu terlihat masih rasional. tapi jika anda tidak punya uang cukup, kebutuhan keluarga akan kebutuhan pokok semacam makanan bergizi belum tercukupi, anak dan keluarga lebih membutuhkan asupan makanan bernutrisi dan berprotein untuk menunjang tumbuh kembang dan kecerdasan, tetapi anda lebih memilih mendahulukan membeli sebungkus rokok sebagai prioritas, kalimat apa yang bisa dipakai untuk menggambarkar keadaan menyedihkan ini.

Ada 12,21% rumah tangga miskin perkotaan yang mengkonsumsi rokok, dan ada 11,36% rumah tangga miskin pedesaan yang aktif mengkonsumsi rokok., ini artinya, ada sekian banyak anggota keluarga yang belum tercukupi kebutuhan gizinya secara baik, namun alokasi pengeluaran biaya hidup harus tergerus oleh kebutuhan akan rokok yang jelas jelas bisa mengganggu kesehatan, menimbulkan dampak buruk bagi perkembangan generasi mendatang, dan menimbulkan potensi besar bagi tumbuhnya bermacam penyakit bagi masyarakat miskin.

Ada pendapat brilian dari Prof Bagong Suyanto, pakar sosiologi ekonomi UNAIR, bahwa rokok dan kemiskinan itu punya hubungan erat. Dan bisa jadi, dalam keluarga miskin sesungguhnya telah terjadi proses pembelajaran tentang budaya merokok.

Seorang bapak yang perokok aktif, saban hari mencontohkan cara merokok dan kebiasaanya kepada anggota keluarganya, anak remaja yang setelah melihat rutinitas para orang tua perokok kemudian mulai meniru mengkonsumsi rokok, mulanya perokok pasif, kemudian lambat laun akan menjadi perokok berat. Lingkaran perokok terus berulang, dari genersi kegenerasi miskin terjadi pembelajaran cara merokok yang berkesinambungan.

Mengapa?

Bagai orang miskin, rokok itu adalah alat untuk mengurangi tekanan hidup. Sulitnya mencari penghidupan yang layak, di tambah pola hidup yang semakin menonjolkan kekayaan materi, sulitnya mengakses sarana hiburan, pendidikan, kehidupan layak,kesempatan kerja, kemampuan bersaing yang rendah, membuat orang miskin menjadikan rokok sebagai sarana ampuh untuk mengurangi teknan hidup.

Sebuah survey di Amerika Serikat yang di lakukan oleh Gallup Poll pada 2008 bisa jadi gambaran. Dari 75.000 responden perokok aktif di AS, ternyata yang berpenghasilan 24.000 dolar /tahun lebih tinggi mengkonsumsi rokok, ketimbang mereka yang berpenghasilan 90.000 dollar/pertahun. Ini artinya, orang miskin di banyak negara dunia punya kecenderungan tinggi untuk membelanjakan sebahagian penghasilanya guna membeli sebungkus rokok.

Bagi orang miskin, rokok itu adalah perwujudan kemewahan yang mampu di raih. Di tengah arus modernisasi yang membuat manusia semakin mengagungkan kemewahan, ketika masyarakat bawah di sodorkan tontonan perilaku hidup mewah dari kalanagan atas, orang miskin hanya bisa memandang semua itu dengan kemampuan isi kantong yang terbatas. Betapapun telah berusaha sekuat tenga, namun tak urung segala kemewahan itu hanya bisa menjadi mimpi belaka.

Dan merokok bisa menjadi solusi cepat dari keadaan itu. Melepas penat sejenak dari rutinitas yang bekejaran dengan keinginan memiliki segala penghidupan yang mapan, menghisap sebatang rokok bisa menimbulkan efek semu ketenangan.

Bagi orang miskin, melihat iklan produk rokok yang menggambarkan visual orang sukses, hidup mapan, berpendidikan tinggi, macho, jantan, punya karir cemerlang, di senangi lingkungan pergaulan, memberi persefsi bahwa rokok itu memang sebuah sarana untuk mewujudkan impian itu. Dan ketika iklan seperti itu tayang terus berulang setiap hari di televisi dan media lainya, lambat laun para orang miskin yang kebanyakan tidak berpendidikan tinggi semakin sulit membedakan mana realita, mana hayalan. Mana sekedar iklan, mana yang seharusnya menjadi pedoman.

Maka perusahaan rokok punya dosa besar kepada buruknya literasi orang miskin terhadap bahaya merokok bagi kesehatan, ekonomi, kesejahteraan, bahkan bagi perkembangan generasi mendatang. Ini semacam penjajahan dari produsen rokok kepada kalangan miskin, karena orang miskin tersebut ternyata punya andil besar menambah kekayaan para pengusaha rokok.

Akankah keadaan seperti ini harus terus berlanjut? Menjadikan orang miskin semakin miskin karena rokok. Perlu upaya bersama dari semua pihak untuk bisa memberi pemahaman yang utuh bahwa rokok itu bisa menimbulkan bahaya besar.


Setuju?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun