Kereta senja melaju cepat, tergopoh gopoh bantalan rel menumbalkan waktu. Sementara aku, masih berdiri terpaku di peron stasiun, Â memunguti jejak yang engkau tinggal, membaca dengan lambat secarik kertas seumpama surat perjanjian. Tentang kesetiaan, tentang hubungan ini yang terasa janggal.
Kinanti, hampir tamat cerita rasaku. Ketika lambaian tanganmu terasa semakin menjauh, perlahan kuperhatikan, sebentuk benda melayang dari genggangam. Menabrak angin menghantarkan kecurigaan, menimbulkan kabar tentang bagaimana kita mengelolah urausan rasa. Mungkinkah cincin tunagan telah engkau telantarkan.
Aku ingin berlari kencang, sangat kencang, sehingga hati dan rasaku tercabuk oleh bunyi pedang udara menimbulkan suitan duka. Tapi senyatanya ragaku masih tertinggal di deret bangku penantian, hanya rasa dan sukma yang tak rela jika engkau pergi dengan membawa aliran lara. Tapi apa daya, hanya anganku mampu menumpang angin, mengejar tangismu yang membasahi rel kereta hingga Batujajar.
Perihkah yang di angkut lokomtif uap?
Pastikah kereta akan segera berhenti di stasiun terdekat?
Kinanti, jika pertemuan ini terjadi, meski raga kita tak lagi mampu merasakan perih. Ku ingin sukma kita leluasa berbicara, menceritakan betapa kita sesungguhnya adalah korban dari ketidak adilan dunia.
Kinanti, maafkan salahku.
#####
Baganbatu, januari 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H