Sudah ku duga perdebatan ini akan terjadi, cara pandang kita akan sesuatu hal telah mengalami banyak pergeseran, mungkin sejauh pengembaraan hati hendak menemukan kebenaran, atau pergaulan menyebabkan kita jadi memiliki keberanian untuk menyatakan banyak hal tentang sesuatu yang dulu kita anggap sebagai kesepakatan.
Kerikil, pasir, markah jalan, hingga letak lampu jalan engkau persoalkan. Bahkan capung yang berseliweran menjadikan kita adu argumentasi tentang kebenaran. Mengapa dan bagaimana, dua tanya yang kemudian membuat kita sebagai pribadi asing entah dari mana.
Isi kepala seperti penuh uap panas, pandangan mata mencerminkan ketidak puasan hati akan jawaban baku yang tersedia sebagai seorang kawan. Terlalu fakta, terlalu ilmiah.
Kita pernah melalui jalan ini ribuan bahkan mungkin jutaan, ketika tanpa alas kaki, ketika buku kita kehujanan karena merasa semua pelajaran telah di simpan di dalam kepala, atau ketika berlarian mengejar layangan putus karena kita terlalu miskin untuk membeli kertas minyak seharga lima puluh rupiah. Ini cerita lama.
Dan ketika kita telah merasa dewasa, ketika gelar sarjana menghiasi nama, memaknai sebuah jalan kita perlu melakukan somasi kepada teman lama. Tanpa risih melukai rasa, tanpa pernah terkenang bahwa kita dahulu adalah bocah kampung tanpa memiliki nama.
Jalan ini menandakan bahwa pendidikan tidak membuat kita menjadi manusia yang berisi.
Atau kita tengah membangun ambisi sebagai bocah dekil yang tumbuh menjadi manusia jumawa.
Jalan ini saksinya.
#####
Baganbatu,24 agustus 2022