Hari ini, seharusnya bahagia itu terjadi. Kursi pengantin telah berhias ornamen pelangi, taburan melati memenuhi pelataran menguarkan aroma suci. Sesuci pengantin pulau duri.
Janji setia siap di ucapkan
Seperangkat alat sholat menghias indah sebagai mahar
Para gadis manis duduk melingkar, mengelilingi bidadari jelita dengan senyum bahagia tanpa buatan. Matanya berbinar, pipi halus bersemu merah akibat godaan para dayang , hiasan kembang di kepala bergoyang mengikuti suasana hati sang ratu sehari.
Meja, kursi, puluhan jenis makanan, serasa bergumam mengucap pujian akan kecantikan dan kemolekan mempelai puteri pemilik hak pelaminan.
Anak kecil berlarian, tukang penjual balon pula tersenyum girang. Bukan  karena meratapi nasip menjadi bujang lapuk hingga usia menjelang empat puluhan, tetapi karena tiga puluh pasang balon telah habis terjual. Sama sama bahagia, meskipun beda cara beda suasana.
Tetiba datanglah kabar duka dari anjungan kapal motor nusa penida , seorang lelaki berkulit hitam legam berteriak nyaring mengabarkan berita duka.
"Kapal rombongan pengantin pria karam di hantam gelombang."
Larilah segala manusia menuju ujung dermaga, meninggalkan segala persiapan pesta yang di hajat oleh tuan rumah.
Gulai kambing tumpah ke tanah, nasi sebakul tersepak kaki bergegas mencari kebenaran berita. Wajah bahagia seketika berubah cemas, gelak tawa sirna berganti tangisan.
Menangislah ia sejadi jadinya
Meraunglah ia menumpahkan segala gunda penghimpit dada
Jika ada gelegar petir, inilah petir yang sebenarnya
Jika ada guncangan gempa, inilah gempa terdahsyat yang pernah menimpa ummat manusia.
Puteri jelita tenggelam dalam kabar duka, kekasih tercinta terkorban akibat terjangan ganas air pasang selat Malaka
Tiada ucapan perpisahan, tiada pertanda bila malapetaka ini akan datang. Pelaminan hampa menjadi pajangan sengsara,janji setia ternyata maut lebih perkasa. Memutuskan ikatan, mengobarkan perih panjang tentang arti sesungguhnya pengorbanan dan keikhlasan.
Menjelang petang ketika peristiwa itu telah berlalu hampir dua puluh purnama, seorang puteri menatap samudera luas sebagai tanda setia. Bercerita kepada ombak tentang perihnya menjalani sisa usia, menyampaikan pesan kepada burung camar agar segera menyampaikan kerinduan kepada kekasih yang terbaring di laut dalam, mengelus mesra wajah kekasih lewat deburan ombak yang menjilati tapak kaki.
"Hingga mengering tubuh ini, hingga renta membatasi usia, hingga mati menjemput raga menuju pertemuan yang sempurna, aku akan menunggumu dengan setia."
#####
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H