Sesampai didepan pintu, teringatku akan satu hal, buah tangan terindah ternyata bukan jaminan keindahan, meski ilusi seringkali menipu dengan dandanan angan, bahwa hubungan ini hanya persinggahan. tak lebih dari sekedar curahan hati dilamun sepi.
Semakin ingin kuketuk, semakin dalam seribu sesal menyembul dari bingkai kayu. Tentang irasional perasaan, ambigu pernah beberapa kali datang membunuh, rasanya seperti mati yang mendahului waktu, atau pembantaian tanpa darah tapi mewarlskan luka.
Hingga waktu maghrib tiba, aku masih membatu didepan kata maaf. Â hendak menyentuh pintu perasaan, ingin sekedar menitikan airmata tanda penyesalan, namun keberanianku telah lama hilang.
ku, bukan aku yang dulu lelaki sejati. berani menyeberangi lautan api demi janji, sanggup memindahkan bulan demi sebuah impian.
Ku, kini hanya lelaki penyembunyi malu. Mengingkari kesejatian dengan sedikit egois yang keterlaluan.
Ku, tak sanggup aku membuka pintu.
#####
Baganbatu, April 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H